Minggu, 30 Oktober 2011

PERTENTANGAN POLITIK SOEKARNO-HATTA

Sebuah Kajian Budaya* 
Oleh: Indriyanto**



Pendahuluan 
Dalam sejarah pergerakan nasional dan  kontemporer Indonesia, peranan para 
tokoh sejarah memegang kunci bagi kemerdekaan Indonesia. Sejarah para tokoh dan 
organisasi serta tujuannya banyak menghiasi perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa lalu 
mereka menjadi penganjur terwujudnya cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan rakyat. 
Mereka banyak terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan konflik politik yang 
terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Setelah Indonesia merdeka, mereka 
dihadapkan pada persoalan bagaimana mempraktekkan apa yang dicita-citakan dalam 
mewujudkan kedaulatan rakyat. Di antara  mereka yang menarik untuk dibahas adalah 
Soekarno-Hatta, karena keduanya berhasil  menjadi pimpinan puncak ketika Indonesia 
merdeka hingga mereka kemudian “berpisah” secara baik-baik karena keyakinan politik 
yang berbeda. 
Akhirnya, tingkah laku politik kedua tokoh ini kemudian banyak menjadi kajian 
berbagai ilmu. Namun demikian, seruncing  apapun konflik tersebut, ternyata tidak 
memunculkan bentuk-bentuk perilaku politik yang cenderung anarki di antara keduanya. 
Mereka selalu menunjukkan persatuan dan kekompakan dalam hubungan sosial maupun 
kekeluargaan. Hal ini ditunjukkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hingga akhir hayat 
mereka. Satu hal yang patut kita renungkan adalah bagaimana kita menyikapi tingkah 
laku sebuah pertentangan politik tanpa harus meninggalkan demokrasi dan hukum. 
Adakah konflik politik antara Soekarno dan Hatta yang bisa diambil sebagai pelajaran? 
Sebenarnya banyak teori dan pendekatan yang mencoba menganalisis tentang 
tingkah laku politik dalam kaitannya dengan moral, etika, budaya, maupun norma politik. 
Namun yang lebih penting dalam praktek politik, adalah aplikasi norma politik dalam 
kehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa  yang dituju oleh norma politik adalah 
masyarakat, baik sebagai penguasa atau pemerintah dan warga masyarakat itu sendiri. 
Sementara tingkah laku politik menyangkut dua  sisi, yaitu sisi ideal yang berasal dari 
pikiran dan perasaan manusia, dan sisi lingkungan tempat manusia hidup. 
Perjalanan politik kedua tokoh sejarah ini tidak bisa dilepaskan dengan pikiran, 
perasaan dan lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Pengaruh inilah yang kemudian 
memperlihatkan perbedaan pandangan dan tindakan mereka dalam praktek politik. 
Sementara itu, dalam proses berpolitik, orientasi berpikir, prioritas kepentingan dan citacita, serta kebijaksanan dari para pelaku politik semakin mengental menjadi kultur 
politik. (Apter, 1977) Sudah tentu, bahwa kultur politik yang menjadi background dari 
tingkah laku politik seseorang dalam aplikasinya berupaya untuk mencapai suatu cita-cita 
negara. Tingkah laku politik seseorang harus didasari oleh norma dan etika yang 
berfungsi sebagai moral politik dari para politisi. Oleh karena itu untuk mencapai suatu 
cita-cita negara, belumlah cukup bila para politisi hanya didukung oleh kesadaran etis 
saja, tetapi juga produk-produk peraturannnya harus dilandasi oleh moral. Dengan 
demikian, segala tindakan harus didukung oleh  perasaan kesusilaan bahwa hak negara 
dan politisi ada batasnya, ada hukum yang mengatur di dalamnya. Soekarno-Hatta dalam Kancah Perjuangan 
Kolonialisme Belanda di Indonesia,  telah berurat dan berakar menguasai 
kehidupan bangsa Indonesia. Dominasi politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial, 
dan penetrasi budaya, adalah  wujud nyata dari kolonialisme. Perjuangan pergerakan 
Indonesia yang dimulai sejak awal abad  XX, semakin lama semakin menunjukkan 
kegigihannya. Organisasi, taktik, dan strategi berjuang yang lebih modern menjadi ciri 
pergerakan bangsa Indonesia pada saat itu. 
Setelah Perang Dunia I, semakin banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di 
Belanda dan mereka terlibat dalam pergerakan Indonesia, yaitu Indisch Vereeniging 
tahun 1908 yang kemudian setelah tahun 1925 menggunakan nama Perhimpunan 
Indonesia (PI) serta menerbitkan majalah “Indonesia Merdeka” yang dipelopori oleh 
Hatta. PI mencoba menyadarkan teman-teman seperjuangan tentang komitmen sebagai 
bangsa yang bersatu dan merdeka, menghapus gambaran orang Belanda tentang 
Indonesia, dan mengembangkan ideologi yang bebas dari pembatasanpembatasan 
khususnya komunisme. (Ingleson, 1988) Itulah ideologi nasionalis PI yang didalamnya 
mempunyai unsur kesatuan nasional yang  bertujuan untuk mencapai kemerdekaan 
Indonesia; unsur solidaritas untuk mempertajam konflik dengan penjajah; unsur 
nonkooperasi yang jadi dasar bahwa kemerdekaan harus direbut; dan unsur swadaya yang 
mendasari kepercayaan atas kekuatan sendiri. Skema perjuangan Hatta dan kawan-kawan 
dapat digambarkan sebagai berikut: 
Pada tahun 1932, Hatta menjadi ketua PNI-baru. Organisasi ini pada tahun 1933 
sudah mempunyai 65 cabang, dan kegiatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka terus 
dilakukan. Ketika PPPKI dibentuk, Hatta tidak setuju dan PNI-Baru nya juga tidak jadi 
anggota “persatuan” itu. Ia bersikap kritis atas “persatuan” itu dan menyebutnya sebagai 
“persatean”. Atas kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan tersebut, menyebabkan 
pemerintah kolonial menangkapnya tahun 1934. (Pringgodigdo, 1984) 
Sementara itu, Soekarno yang lulus ELS tahun 1921, sejak masa mudanya dekat 
dengan tokoh HOS Cokroaminoto. Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai 
karier politik yang sesungguhnya pada tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun 
kemudian berhasil mendirikan PPPKI tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan 
dia selalu memikirkan rakyat dalam objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai 
pemikiran yang anti elitisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan 
soal-soal ekonomi dan lebih suka berpikir sosial demokrat. Tahun 1930, Soekarno 
ditangkap karena ucapan-ucapannya yang keras terhadap pemerintah kolonial. 
(Onghokham dalam Abdullah, 1978: 20) Dalam usaha untuk mencapai Indonesia 
merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada para pemimpin organisasi pergerakan, 
hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih dulu dalam suatu organisasi rakyat 
umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut 
Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika 
bangsa Indonesia tidak mempunyai persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan 
menjadi bola permainan negeri-negeri yang berperang saja. 
Buah pemikiran Soekarno yang sangat  dikenal adalah faham Marhaenisme. 
Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai  suatu ideologi kerakyatan yang mencitacitakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah 
sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme dengan 
kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme menolak setiap tindakan 
borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang 
mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi 
timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan 
demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang  berperikemanusiaan 
atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama. 
Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi  yang menuju kepada kesejahteraan sosial, 
kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa. (Hananto.2005: 38-41; 
Pataniari, 2002, 116) 
Soekarno juga yakin, bahwa untuk menentang kolonialisme dan imperialisme 
serta.mewujudkan persatuan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah dengan 
menyatukan tiga.aliran paham besar yang ada di masyarakat Indonesia, yaitu 
nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Ketiga gelombang besar ini bisa bersatu untuk 
melawan kolonialisme (Soekarno, 1964). Nasionalisme menekankan pentingnya batasbatas dan kepentingan nasional, agama (Islam) pada dasarnya bersifal universal, menolak 
batas-batas nasionalisme dan materialisme ala Marx. Namun demikian ketiganya 
memiliki tujuan yang sama. Melihat situasi demikian, Soekarno merasa tertantang dan 
yakin bahwa persatuan diantara ketiganya  akan menghasilkan kemerdekaan Indonesia. 
Inti dari persatuan adalah saling memberi dan menerima. Persatuan tidak akan terjalin 
jika masing-masing pihak tidak memahami kedua unsur tersebut. Selain itu, BK juga 
menyarankan untuk menempuh jalan non-kooperasi, yakni menolak bekerja sama dengan 
pemerintah kolonial (Wardaya, 2006:38-42). 
Pertentangan Soekarno-Hatta 
Benih-benih perbedaan pemikiran antara Soekarno-Hatta mulai tampak antara 
tahun 1930an, ketika mereka berpolemik tentang cara mencapai cita-cita bangsa, 
sosialisme, nasionalisme, kiprah dalam organisasi politik, dan  lain-lain. Meskipun 
demikian, perbedaan dan pertentangan politik antara Soekarno-Hatta tidak sampai 
menjadikan mereka saling berbuat anarki.  Justru pada masa Jepang dan menjelang 
kemerdekaan mereka lebih bahu-membahu dalam mempersiapkan kemerdekaan 
Indonesia. 
Bagi Hatta, sikap nonkooperasi harus bersifat kompromis, artinya harus melihat 
realitas politik yang ada. Namun bagi Soekarno, nonkooperasi harus lebih radikal dan 
berseberangan dengan pihak penjajah. Soekarno mengistilahkan dengan kaum “sana” dan 
kaun “sini” untuk membedakan antara penjajah dengan rakyat terjajah. Pertentangan ini 
terus berlanjut ketika Soekarno berusaha menyatukan Partindo dan PNI Baru. Mereka 
berbeda tentang asas perjuangan. Hatta berpendapat bahwa perjuangan kemerdekaan 
membutuhkan waktu bertahun-tahun karena rakyat harus dididik dulu ke arah itu. Akan 
tetapi bagi Soekarno, kemerdekaan akan tercapai bila tercipta pembentukan kekuatan dan 
pemakaian kekuatan rakyat. Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending. 
Mencerdaskan rakyat saat itu memang akan terhindar dari penjara, tetapi juga terhindar 
dari kemerdekaan. Sementara perbedaan tentang cara melawan kapitalisme, juga terlihat 
di antara keduanya. Soekarno memandang perjuangan melawan melawan kapitalisme 
merupakan perjuangan nasional dan perjuangan kebangsaan dengan kekuatan utama kaum marhaen, sedangkan Hatta berpendapat bahwa yang dilakukan Soekarno adalah 
perjuangan ras, padahal yang dibutuhkan adalah perjuangan klas. (Alam, 2003: 44-75) 
Soekarno lebih tertarik untuk menggerakkan massa daripada membentuk kader 
partai sebagaimana yang diinginkan Hatta.  Kalaupun suatu pergerakan akan menjadi 
kekuatan sejati untuk melawan  kolonial, maka hal itu bisa terjadi melalui pendidikan 
massa rakyat dan latihan suatu elit yang  tidak hanya membakar semangat rakyat, 
melainkan memberikan pencerahan kepada mereka. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan 
antara Partindo dan PNI lama. Dengan alasan lama, mereka pun tetap menganut paham 
non-kooperasi karena hanya suatu pergerakan yang mengandalkan kekuatan dan 
kemampuan sendiri sajalah yang dapat mencapai kemerdekaan. 
Di kalangan mereka, kritik Hatta itu dianggap sebagai campur tangan yang 
kasar dalam pergerakan. Pandangan yang sama dianut oleh kelompok Hatta. Perbedaan 
antara kedua golongan itu hanyalah menyangkut cara perjuangan yang harus dilakukan, 
apakah dengan agitasi atau pendidikan terhadap rakyat. (Dahm, 1987: 158-161) 
Pertentangan Soekarno-Hatta ini terus  berlanjut sampai kedatangan Jepang. 
Pada jaman Pendudukan Jepang mereka bisa menyatu sebagai dwi-tunggal sampai tahun 
1950an. Pertentangan mulai terjadi lagi ketika Soekarno berusaha comeback sebagai 
pimpinan eksekutif dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Pada akhir tahun 1957, terjadi 
pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda oleh kalangan komunis. 
Pengambilalihan ini menimbulkan banyak kecaman, terutama dari Hatta yang 
menyebutnya sebagai tidakan bodoh dan tidak  bijaksana. Pengambilalihan ini hampir 
mengakibatkan ambruknya perekonomian di Indonesia, terutama di bidang perdagangan. 
Sementara itu, muncul rasa ketidakpuasan masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah 
hingga akhirnya muncul ketegangan antara pusat dengan daerah luar Jawa. Kabinet yang 
dibentuk pemerintah tidak menyertakan Masyumi, padahal Masyumi merupakan prtai 
yang memiliki banyak pendukung di luar Jawa. Selain itu, tuntutan akan otonomi daerah 
yang digulirkan oleh daerah ternyata tidak mendapat perhatian yang serius dari 
pemerintah pusat. Ketika terjadi krisis  daerah tersebut, peranan Dwi Tunggal sangat 
diharapkan untuk menyelesaikannya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya yaitu pecahnya 
BK dan Hatta. Pada akhir 1957 Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai Wakil 
Presiden RI. Hal itu menunjukkan bahwa ia tidak bersedia mengikuti jalan yang sudah 
digariskan oleh BK. 
Tinjauan Budaya terhadap Pertentangan Soekarno-Hatta 
Sebenarnya, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1950-an, 
kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dikelola dengan berhasil. Prestasi ini 
disimbolisasikan oleh keberadaan Dwitunggal Soekarna-Hatta, yang bukan sekedar 
merupakan jaminan simbolis, akan tetapi  dalam batas tertentu bahkan riil, bahwa 
penduduk luar Jawa telah menjadi mitra dengan posisi yang sejajar bagi orang-orang 
Jawa yang mendominasi penyelenggaraan kekuasaan politik di Indonesia. Seorang 
Indonesianis melukiskan keadaan ini dengan mengatakan bahwa Soekarno sebagai 
mistikus Jawa dan eklektikus kawakan dan Hatta sebagai puritan Sumatera telah saling 
melengkapi tidak hanya secara politis melainkan juga secara primordial. Dwitunggal juga 
merepresentasikan persekutuan antara Soekarno yang mewakili sinkretisme Jawa dan 
Hatta yang mewakili merkantilisme Islam dari luar Jawa (Geertz, 1992: 104). Sayangnya, menjelang pertengahan  kedua tahun 1950-an hubungan antara 
Soekarno dan Hatta yang semula harmonis  mulai diwarnai ketegangan yang terus 
meningkat dan sulit diperdamaikan, sehingga Hatta kemudian memutuskan untuk 
meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden pada akhir 1957. Pertentangan antara 
Soekarno dan Hatta menarik untuk dijelaskan, sebab dengan melihat posisi simbolis 
Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Presiden mempunyai implikasi yang 
tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia  pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta 
dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap 
legitimasi pemerintah pusat. Selain itu, sejak Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai 
menjadi satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia, 
keseimbangan politis terganggu, dan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah 
pusat.
[1]
Setiap pemegang kekuasaan tentu akan menggunakan kekuasaan untuk 
mengatur Negara dan dan rakyat baik secara politis maupun sosial. Seperti dikatakan 
Flechteim, “social power is the sum total of those capacity, relationships, and processes 
by which compliance of others is secured...for ends determined by the power holder” ( 
Iver, 1961: 87). Kekuasaan politik pada dasarnya merupakan bagian dari kekuasaan 
sosial yang fokusnya ditujukan kepada  negara sebagai satu-satunya pihak yang 
mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial, termasuk dengan 
menggunakan kekerasan. 
Meskipun demikian, kekuasaan perlu dibatasi dengan etika politik. Etika Politik 
menjadi dasar moral bagi politik karena  harus memperhatikan pada peran demokrasi 
dalam memberi legitimasi pada penguasa  politik. (Shapiro, 2003: 203) Etika politik 
adalah gerabang penjaga bagi bangunan cita-cita perjuangan kebangsaan dan kenegaraan. 
(Baasir, 2003: xxxvii) Etika mempunyai peran yang signifikan dalam mengeliminasi 
konflik dalam berbagai kehidupan. 
Kendati demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke 
dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi 
juga hubungan kultural baik sebagai keseluruhan atau pada  bagian-bagian tertentu.[2] 
Dua alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, seperti telah 
disampaikan di muka, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi 
juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, 
sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme. Unsur-unsur 
kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan sikapsikap emosional mengenai cara-cara menjalankan pemerintahan. Oleh karenanya, 
kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap sebagai ekspresi untuk menunjukkan 
lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat sistem politik itu berjalan. Tindakan 
politik ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti tradisi, ingatan sejarah, motif, 
norma, emosi, dan simbol (Kavanangh, 1983: 4-5) 
Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang 
terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society). Istilah masyarakat 
majemuk telah digunakan oleh Furnivall untuk menggambarkan situasi sosial di Burma 
dan Jawa pada masa kolonial. Di kedua tempat itu orang-orang bumiputera, imigran Cina 
dan India, dan orang-orang Eropa hidup bersama, tetapi kehidupan mereka tidak 
menyatu. Di Burma, seperti juga di Jawa, suatu pemandangan yang paling menarik bagi 
seorang pengunjung adalah adanya berbagai jenis manusia.... Mereka bercampur, tetapi 
tidak bersatu. Setiap golongan mengikuti agama, budaya, bahasa, pandangan hidup, dan 
norma masing-masing. Sebagai individu mereka  berjumpa, tetapi ini hanya terjadi di 
pasar ketika mereka berjual beli. Ini merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai 
golongan masyarakat yang hidup berdampingan namun terpisah, di bawah satu kesatuan 
politik yang sama. Di dalam sektor ekonomi pun terjadi pembagian tenaga kerja menurut 
garis-garis etnik... (Furnivall, 1984: 304). 
Pada satu sisi kemajemukan dapat menghasilkan daya dorong ke arah kemajuan. 
Namun pada sisi yang lain kemajemukan dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang 
mengarah pada terjadinya konflik. Pergeseran-pergeseran dalam hubungan antara 
Soekarno dan Hatta dapat digunakan untuk menunjukkan potensi ganda pluralisme, baik 
sebagai kekuatan pembentuk integrasi nasional maupun pemicu perpecahan. Masyarakat 
majemuk ditandai oleh adanya pembelahan sosial yang berakar pada perbedaan etnisitas, 
ras, agama, dan geografis (Liddle, 1970: 4-5), atau yang oleh Geertz (1992: 82) disebut 
sebagai sentimen primordial (primordial sentiment).[3] Pada masa Orde Lama sentimen 
primordial terekspresikan di dalam ‘aliran’ (ideological  stream) yang bersumber dari 
keyakinan agama dan nilai-nilai kultural. Aliran menciptakan ketergantungan dan 
loyalitas massa terhadap pemimpin-pemimpin mereka dalam suatu pola hubungan 
patron-klien (Antlöv and Cederroth, 1994: 5).[4] 
Berdasarkan hal ini, maka bagi  para pendukungnya, baik Soekarno maupun 
Hatta dapat dilihat sebagai patron. ‘Persekutuan’ yang berhasil antara Soekarno dan Hatta 
dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengakomodasikan 
motivasi para pengikutnya untuk membangun negara baru. Masyarakat di negara baru 
selalu diliputi oleh motivasi yang sangat kuat untuk membangun identitas yang 
mengantarkan mereka untuk mendapatkan pengakuan umum sebagai pihak yang turut 
bertanggung jawab dan mempunyai kontribusi yang berharga terhadap negara. Mereka 
juga dilekati oleh semangat untuk membangun negara modern yang efisien dan dinamis. 
Semangat ini mempunyai tujuan lebih luas yang bersifat praktis, antara lain adalah 
pencapaian kemajuan, peningkatan taraf hidup,  penciptaan tatanan politis yang efektif, 
pembentukan keadilan sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran yang 
dianggap penting dalam panggung politik. Hubungan harmonis yang diperlihatkan oleh 
dwitunggal sebelum Hatta menyatakan pengunduran diri dari jabatan Wakil Presiden 
menunjukkan bahwa Soekarno yang merepresentasikan Jawa masih dapat berjalan seiring 
dengan Hatta yang merepresentasikan luar Jawa. 
Menurut Fachry Ali (1987) praktik politik kekuasaan dalam Indonesia modern 
pada dasarnya merefleksikan pemikiran tentang kekuasaan dalam tradisi Jawa. Dalam 
pandangan orang Jawa tradisional, kekuasaan dilihat sebagai sebagai “something 
concrete, homogeneous, constant in total quantity, and without inherent moral 
implication as such” (Anderson, 1981: 8). Meskipun kelas atas dalam masyarakat Jawa 
tradisional didefinisikan secara struktural, mereka juga dilekati oleh nilai-nilai etis dan 
mode perilaku yang berkaitan erat dengan fungsi tradisional kelas atas. Merujuk Geertz 
(1981), perbedaan antara kelas  atas dan orang kebanyakan adalah pada karakter halus 
(Jawa: alus) yang menjadi inti etis priyayi. 
Kehalusan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai diri, 
berpenampilan ‘cantik’ dan elegan, berperilaku bijaksana, dan sensitif. ‘Alus’ diperoleh melalui usaha yang terus menerus untuk mengolah ‘rasa’ dan menguasai pemusatan 
‘energi putih’. Dalam pemikiran Jawa tradisional, alus merupakan salah satu tanda 
kekuasaan, sebab kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan energi dan seseorang 
yang ‘halus’ akan ditempatkan pada status dan kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih 
dekat dengat pusat kekuasaan (Anderson, 981: 39 dan 42). Ini berarti bahwa sebelum 
pertentangan dengan Hatta mencuat ke permukaan, Soekarno berhasil menampilkan 
dirinya sebagai priyayi. 
Kendati demikian, negara baru selalu rentan terhadap rasa tidak suka yang 
serius yang bersumber dari sentimen primordial. Masalah primordialisme adalah masalah 
utama republik ini. (Onghokham, 1985:5) Ikatan-ikatan primordial sesungguhnya 
merupakan patologi dalam praktik kehidupan berpolitik di negara-negara modern. 
Sebabnya adalah sentimen primordial hanya menghasilkan integrasi yang semu dengan 
mengandalkan rasa setia kawan (fellow feeling) yang tidak stabil. Ambedkar (dikutip 
Geertz, 1992: 181) berpendapat bahwa rasa setia kawan ini memang mampu melembaga 
dan membuat mereka yang diliputinya merasa sebagai kawan dan atau kerabat, dan ini 
merupakan modal yang berharga bagi sebuah negara yang stabil dan demokratis. Namun 
sentimen ini selalu bersegi ganda. Di  satu sisi ia dapat menjadi kekuatan yang 
menyatupadukan dan sekaligus melampaui segala perbedaan, namun pada pihak lain juga 
menciptakan sekat antara seseorang atau sekelompok orang dari dari mereka yang 
dianggap berbeda, ‘bukan kawan dan bukan kerabat’. Hal itu cukup jelas tercermin dari 
perbedaan-perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta. 
Sebenarnya primordial bisa diubah menjadi demokrasi pluralistis, dengan segala 
aspeknya seperti adanya otoritas primordial, keharusan berkompromi, adanya koalisi 
yang bertanggungjawab dan ideologi yang inklusif, bukan eksklusif. Hal ini akan 
mendasari kultur politik, yang terbentuk tawar menawar. (Apter, 1977: 492) Akan tetapi, 
meskipun pertentangan itu telah mendapatkan bentuknya yang paling akhir berupa 
terpecahnya dwitunggal, Soekarno masih tetap berlaku sebagai seorang yang memegang 
etis priyayi yang menjunjung tinggi keselarasan atau harmoni sosial. Kehidupan bersama 
diidealkan berlangsung secara tenang dan penuh kerukunan. 
Usaha untuk mencapai tujuan itu melibatkan dua prinsip, yaitu rukun dan 
hormat. Prinsip rukun mendorong orang Jawa dalam setiap situasi berusaha menyatakan 
sikap dengan cara sedemikian rupa, sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip 
ini bersumber dari pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional sebagai nilai 
tertinggi dan didasarkan pada kewajiban  moral untk mengendalikan hasrat hati dan 
menjaganya agar tak terlepas dari kesadaran, sehingga tidak menimbulkan tanggapan 
emosional yang berlawanan dari orang lain. Sementara prinsip hormat membuat orang 
Jawa dalam berbicara dan menampilkan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap 
orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Geertz, 1961: 146). Kedua prinsip 
tersebut merupakan kerangka normatif  yang menentukan bentuk-bentuk konkret 
hubungan social yang diusahakan terjadi  dalam keselarasan, ketenangan, dan 
ketenteraman, tanpa perselisihan, bersatu dalam maksud saling  membantu, sekaligus 
berlangsung teratur secara hirarkis sehingga para pelakunya dipaksa untuk 
mempertahankan dan membawa diri sesuai  dengan posisi sosialnya (Magnis-Suseno, 
1991: 38-39). Dengan kata lain, masyarakat Jawa adalah “masyarakat krama” yang 
menampilkan diri sebagai orang-orang yang sadar unggah-ungguh. Itulah sebabnya, Soekarno tetap memperlihatkan sikap respek pada Hatta biarpun mereka saling berbeda 
pendapat. 
Daftar Pustaka 
Ali, Fachry. 1987. Refleksi Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: 
Gramedia. 
Anderson, Benedict R. O’G.. 1981. “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam 
Claire Holt, ed.. Culture and Politic in Indonesia. Ithaca and London. Cornell 
Univerity Press. 
Antlöv, Hans and Sven Cederroth. 1994. “Introduciton”, dalam Hans Antlöv and Sven 
Cederroth (ed.). Leadership on Java:  Gentle Hints, Authoritarian Rule. 
Richmond. Curzon Press Ltd. 
Antlöv, Hans. 2003. Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Terjemahan 
Pujo Semedi. Yogyakarta. Lappera Pustaka Utama. 
Baasir, Faisal. 2003. Etika Politik Pandangan  Seorang Politisi Muslim. Jakarta. Sinar 
Harapan 
Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES. 
Furnivall. 1984. Colonial Policy and Practise. London. Cambridge University Press. 
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri,dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan 
Aswab Mahasin. Jakarta. Pustaka Jaya. 
Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, terjemahan Francisco Budi Hardiman. 
Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 
Geertz, Hildred. 1961. The Javanesse Family: A Studi of Kinship and Socialization. The 
Free Press of Glencoe. 
Hananto, Yuli. 2005. Bermuka Dua; Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno beserta 
Keluarganya. Yogyakarta. Ombak. 
Kavanagh, Dennis. 1983. Pergeseran-pergeseran Politik dalam Masyarakat. Bandung. 
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. 
Terjemahan Samuel Gunawan. Jakarta. Penerbit Erlangga. 
Liddle, William R.. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case 
Study. New Heaven. Yale Universiy Press. 
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan 
Hidup Jawa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 
Mc Iver, Robert. 1961. The Web of Government. New York. The MacMillan Company. 
Mulder, Niels. 1992. “The Ideology of Javanese-Indonesian Leadership”, dalam Hans 
Antlöv and Sven Cederroth (ed.). Leadership on Java: Gentle Hints, 
Authoritarian Rule. Richmond. Curzon Press Ltd. 
Onghokham, “Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma No. 8, Tahun XIV, 
1985. 
Pataniari S. 2002. Api Perjuangan Rakyat.  Jakarta: LKEP Lembaga Kajian Ekonomi 
Politik. 
Shapiro, Ian. 2006. Asas Moral dalam Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian 
Massal 65 hingga G 30 S. Yogyakarta. Galangpress. 
------------------------------------ * Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi “Pertentangan SukarnoHatta: Etika Politik dalam Perspektif  Sejarah dan Hukum”  Himpunan Mahasiswa 
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNDIP, Semarang 15 Maret 2007. 
** Drs. Indriyanto, S.H.,M.Hum.,dosen Jurusan Sejarah Fak.Sastra UNDIP 
[1]Gejala serupa ini juga dapat ditelusuri melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Pada 
umumnya orang meyakini bahwa Pemilu 1955 merupakan contoh Pemilu paling 
demokratis sepanjang sejarah Indonesia sampai dengan akhir kekuasaan rezim Orde 
Baru. Namun pada sisi yang lain Pemilu pada tahun itu sesungguhnya juga telah 
memperlihatkan adanya kenyataan bahwa sejumlah unit kekuasaan yang penting dalam 
masyarakat Indonesia seperti antara lain  angkatan bersenjata, komunitas keturunan 
Tionghoa, dan pengusaha ekspor-impor dari luar Jawa tidak cukup terwakili secara 
memadai dalam sistem politik yang berlaku ketika itu. Di samping itu, dalam Pemilu 
1955 juga mulai muncul gejala terjadinya pergeseran pusat kekuasaan politik dari 
Dwitunggal Soekarno-Hatta ke partaipartai.  
[2]Kultur dapat dipahami sebagai jaringan makna yang digunakan oleh manusia untuk 
menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan mereka sebagai mode of human 
being in the world. Hasil atau wujud dari tindakan manusia tersebut adalah jaringan 
hubungan sosial yang secara umum disebut sebagai masyarakat atau struktur sosial. 
Kultur dan struktur sosial,  dengan demikian merupakan abstraksi yang berbeda dari 
realitas yang sama (Geertz, 1957: 33-34). Dengan cara yang berbeda, Victor Turner 
menggambarkan hubungan antara kultur dan struktur seperti hubungan antara partitur 
musik dengan orkestra. Partitur adalah  kultur yang berisi sistem kode yang penuh 
makna dan berfungsi memandu penampilan pemain-pemain orkestra. Sementara 
orkestra yang terdiri atas pemainpemain  dengan peranan yang berbeda-beda, tetapi 
tersusun sebagai suatu sistem yang harmonis, adalah struktur social (dikutip Keesing, 
1989: 75-76). Dalam definisi ini kebudayaan berfungsi untuk mengatur atau 
mengendalikan kehidupan masyarakat agar berjalan secara harmonis. 
[3]Geertz menyebut integrasi nasional dengan istilah revolusi integratif, yaitu 
berhimpunnya berbagai kelompok primordial-tradisional ke dalam unit 
kemasyarakatan yang lebih besar dan bersifat menyebar. Berbagai kelompok itu 
sebelumnya berdiri sendiri dan kemudian harus memiliki suatu kerangka acuan dalam 
lingkup ‘bangsa’ di bawah perlindungan suatu pemerintahan baru. Dalam hal ini, 
Indonesia adalah sebuah identitas baru yang menyatukan berbagai kelompok 
primordial-tradisional yang terbentuk berdasarkan ikatan kekerabatan, bahasa, daerah, 
agama, dan adat-istiadat. Selain primordial sentiment, penghalang revolusi integratif 
yang tak kalah penting adalah civil politics yang menunjuk  pada usaha untuk 
menempatkan peranan militer di bawah kendali penguasa sipil (Geertz, 1992: 82-84, 
dan 105). 
[4]Pasca 1965, atau sejak lahirnya Orde Baru, terjadi perubahan yang mendasar. Era 
aliran berakhir dan berganti dengan era baru melalui pemberlakuan ideologi tunggal 
Pancasila. Hubungan antara negara dan rakyat tidak lagi dibangun berdasarkan 
loyalitas menurut aliran-aliran, tetapi  terjadi secara langsung, karena negara 
menghadirkan dirinya dalam kehidupan masyarakat lokal sampai ke tingkat desa 
melalui wakil-wakilnya dan melalui berbagai kebijakan pembangunan (Antlöv, 2003). 
Hubungan antara rakyat dan negara diorientasikan pada penyatuan politik dan moral, yang dikonsepsikan sebagai ‘kepentingan bersama’ yang dapat dicapai melalui cara 
‘kekeluargaan’ (Mulder, 1992: 58). 

Kamis, 27 Oktober 2011

Trias Politica dan Checks and Balances a la Indonesia

Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia terus berproses dalam rangka mewujudkan kehidupan yang demokratis. Undang- Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar 1945 (amandemen ke- empat) merupakan hasil upaya untuk semakin mendekatkan diri kepada demokrasi. Ditinjau dari asal kata, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. Kata Yunani demos berarti “rakyat” dan kratos/ kratein berarti “kekuasaan/ berkuasa”[1].
Dalam demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum)[2]Rechtstaat (negara hukum) diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah[3]. Menurut Frederik Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat adalah negara didasarkan kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial)[4]. Menurut Carles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu[5]:
a. Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;
b. Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;
c. Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.
Dalam sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen ke- empat Undang- Undang dasar 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)[6].
Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.
Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela mau pun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.
Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh Congressdengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR) dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian)[7]. Dalam Undang- Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan mengenai hak veto tersebut tetapi pembahasan setiap rancangan undang- undang dilakukan oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama[8]. Selain hak pembahasan dan persetujuan bersama, Presiden juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada DPR[9]. Keterlibatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif dalam kegiatan membuat undang- undang membuatnya juga memegang kekuasaan Legislatif sehingga Presiden mempunyai kekuasaan ganda. Hal tersebut tidak konsisten dengan asas Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Sejauh ini di negara- negara yang menganut sistem presidensial, kekuasaan Legislatif diserahkan kepada parlemen, sedangkan Presiden mempunyai hak veto. Diantara negara- negara tersebut hanya konstitusi Indonesia dan Puerto Rico yang memberikan hak legislasi bersama parlemen kepada Presiden[10]. Sedangkan dalam fungsi kontrol tehadap kekuasaan Yudikatif, Presiden diberikan kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan calon hakim agung sebagai hakim agung[11], selain itu Presiden juga diberikan kewenangan untuk mengajukan tiga dari sembilan orang hakim Konstitusi dan menetapkan para hakim Konstitusi tersebut[12].
Dalam rangka fungsi pengawasan kekuasaan Yudikatif terhadap kekuasaan Eksekutif, MA diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang- undangan yang kedudukannya dibawah undang- undang terhadap undang- undang[13]. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, bentuk- bentuk dan tata- urutan perundang- undangan meliputi:
§ Undang- Undang Dasar (UUD) dan perubahan UUD.
§ Undang- Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu).
§ Peraturan Pemerintah.
§ Peraturan Presiden.
§ Peraturan Daerah.
Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam praktik disamping peraturan perundang- undangan tersebut masih banyak bentuk peraturan perundang- undangan lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan dan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dll[14]. Kewenangan tersebut diberikan kepada MA karena Indonesia belum membentuk MK. Dengan dibentuknya MK sebagai “pengawal konstitusi” dan untuk memperingan tugas MA maka sebaiknya kewenangan menguji MA diserahkan kepada MK. Hal tersebut juga supaya semua peraturan perundang- undangan dapat diuji terhadap undang- undang dasar sehingga dapat terwujud supremasi konstitusi.
Selain hal tersebut, MK juga diberikan kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar[15].
Dalam rangka melaksanakan konsep checks and balances yang lazim, sebaiknya Presiden tidak boleh turut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan rancangan undang- undang dan hak Presiden untuk mengajukan rancangan undang- undang sebaiknya dihapus. Sebagai mekanisme kontrol terhadap Legislatif, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan hak veto atas rancangan undang- undang yang akan disahkan Legislatif. Perubahan tersebut wajib dicantumkan dalam amandemen undang- undang dasar.
Selain hal tersebut, hak uji peraturan perundang- undangan sebaiknya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga semua peraturan perundang- undangan diuji terhadap undang- undang dasar.

[1] Miriam Budiardjo, 2005, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm. 50.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Kostitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm.158.
[4] Ibid.
[5] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 13.
[6] Jimly Asshiddiqie, tanpa tahun, Konstitusi dan Konstitualisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 184.
[7] Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 69.
[8] Pasal 20 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945.
[9] Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.
[10] Moh. Mahfud MD, makalah Undang- Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan, disampaikan dalam seminar konstitusi “Kontroversi Amandemen UUD 1945 dan Pengaruhnya terhadap Sistem Ketatanegaraan, Jakarta, 12 April 2007.
[11] Pasal 24 A ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945
[12] Pasal 24 C ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945.
[13] Pasal 24 A ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.
[14] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 204.
[15] Pasal 24 C ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945.

Selasa, 25 Oktober 2011

Kata Hati ku dalam kesusahan

Apa yg harus ku lakukan ya allah
q ingin membahagiakan k2 orang tua q dan adik2 q
Ya allah
bantu lah aku untuk kebaikan mereka semua
berikan petunjuk mu
berikan kemudahan dalam hidupku untuk menjalani kehidupan q ini

q malu dengan diri ku ya allah
sungguhnya q memerlukan petunjuk mu saat ini
karna hamba sangat kebingungan ya allah
knp begitu berat rasanya q untuk maju setelah q ditimpa masalah yang bertubi-tubi ini

perjuanganku seakan sia-sia
dan hidupku serasa terhenti . .
nafas q tax dpat lancar seperti biasa.a
jantung ku berdetak seakan ingin berhenti . .

ya allah
apa arti hidup ini bila q terpuruk seperti ini . .

apa sebenarnya tujuan hidup ini
kenapa terkadang ada glongan yang harus merana
dan ada golongan yg selalu bahagia

akan kah semua umat mu kelak mendapatkan kebahagian yg abadi . .
hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan saat ini ya allah. .

q seakan mengecewakan perjuangan orang tua ku . .
q sangat marah terhadap diriku ini .
dan q sangat membenci diriku apa bila membuat mereka yang mencitaiku tersakiti dan terkecewakan. .

q hanya ingin belajar ,
untuk membahagiakan semua orang yg mencintaiku dan menyayangiku  serta beguna bagi sesama. .
ya allah
bangkitkan lah semangatku yg semula pernah engkau berikan kepada ku . .
kuat kan, tegarkan hatiku dan
jernihkan setiap pikiran dan hatiku agar q bisa melangkah tahap demi tahap . .

dewasakan lah diriku untuk menjadi insan yang beguna .
buka kan lah mataku ini untuk melihat dunia yang sesungguhnya ya allah .

Senin, 24 Oktober 2011

Kumpulan Kata-Kata Mutiara Bung Karno Presiden RI


(1945 – 1966)
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” . (Bung Karno)
“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno)
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”. (Bung Karno)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno
“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno)
“……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……” (Bung Karno)
“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “. (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno)
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno)
“Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya” (Pidato HUT Proklamasi, 1964 Bung Karno)
“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.” (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno)
“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno)
“Aku Lebih suka lukisan Samodra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase” (Pidato HUT Proklamasi 1964 Bung Karno)
“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)




Sejarah Kepri
Provinsi Kepulauan Riau merupakan gerbang wisata mancanegara kedua di Indonesia setelah Pulau Bali. Hal ini merupakan salah satu poin kebanggaan yang dimiliki Provinsi yang masih baru tujuh tahun berjalan, tetapi mengalami tingkat perkembangan yang sangat signifikan. Dengan Motto “Berpancang Amanah, Bersauh Marwah”, Provinsi Kepulauan Riau bertekad membangun daerahnya menjadi salah satu pusat pertumbuhan perekonomian nasional dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya melayu.

Secara hukum, Provinsi Kepulauan Riau dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002. Undang-undang ini disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2002, namun secara resmi  roda pemerintahan baru berjalan efektif mulai tanggal 1 Juli 2004.

Provinsi ini merupakan pemekaran dari Provinsi Riau. Selain letak geografisnya yang sangat strategis karena berada di Selat Malaka dan di Laut Cina Selatan, juga berbatasan dengan pusat bisnis dan keuangan di Asia Pasifik yakni Negara Singapura dan Negara Malaysia.

Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau terletak pada 04o15’ LU -  0o45’LS dan 103011’ – 109o10’ BT. Provinsi Kepulauan Riau merupakan daerah  kepulauan yang terdiri atas pulau besar dan kecil kurang lebih 2.408 buah dimana sebanyak 366 pulau telah berpenghuni dan 2.042 pulau belum berpenghuni. Luas total wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah 253.420 km2 terdiri dari luas lautan 242.825 km2 (96%) dan luas daratan 10.595,41 km2 (4%).
Secara geografis wilayah Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan :

Provinsi ini memilki  2 Kota yaitu Kota Batam dan Tanjungpinang. Provinsi Kepulauan Riau juga terdiri dari 5 Kabupaten yaitu Kabupaten Bintan, Karimun, Natuna, Lingga dan 1 Kabupaten Kepulauan Anambas yang baru terbentuk pada tanggal 21 Juli 2008 (UU No 33 Tahun 2008) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Natuna. Enam kecamatan yang sebelumnya berada di wilayah Kabupaten Natuna kini menjadi cakupan dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yaitu Kecamatan Siantan, Siantan Timur, Siantan Selatan, Palmatak, Jemajak, Jemaja Timur.

Read more: http://www.dinkesprovkepri.org/profil/sejarah-kepri#ixzz1brjoC8CE

Senin, 10 Oktober 2011

IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
----


                                              
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[1]




Pendahuluan
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.[2] Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.[3]
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.[4]
Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.

Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.[5] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[6]
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.

Perkembangan Ideologi Dunia
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis.
Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.
Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.
Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi,  yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.
Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.

Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya­an: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a consti­tution is a document which contains the rules for the the operation of an organization[7]. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tum­buh[8] menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.[9]
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power[10] yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.[11] Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti­tutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words eng­rossed on parchment to keep a government in order”[12]. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede­mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme­rintahan dapat dibatasi dan dikendalikan seba­gai­mana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua­saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seper­ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an insti­tutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[13] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kese­pakatan (consensus), yaitu[14]:
1.      Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2.     Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3.     Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de­ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme­rin­tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna­kan untuk itu adalah the rule of law yang dipelo­pori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggam­barkan pe­ngertian bah­wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam­barkan hanya sekedar bersifat instru­mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah consti­tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting se­hingga konstitusi sendiri dapat dija­dikan pegangan tertinggi dalam memutuskan sega­la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba­ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepa­kat­an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber­ke­naan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke­tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kese­pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam doku­men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran­cang dan perumus konstitusi tidak seharus­nya membayang­kan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus­nya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan un­dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemung­kinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.[15]

Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:[16]
1.       sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2.      sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.      sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4.      sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5.      sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR[17] dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[18] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[19] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[20]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[21]
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.  
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitu­sionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.

Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie)[22]. Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[23]
1.       Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[24]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[25]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[26]
1)          Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)         Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)         Formell gesetz: Undang-Undang.
4)         Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[27]. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[28]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[29]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.[30]
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[31]
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.[32]
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[33]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[34] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama[35].
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari konstitusi? 
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[36]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.[37] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan  Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[38]
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.[39]
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamen­talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat[40]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.[41]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.


Peran Mahkamah Konstitusi
Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.[42]
George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model[43]. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.[44]
Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah konstitusi secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Hingga saat ini baru terdapat 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri.[45] Negara-negara ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi negara demokrasi.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan produk dari perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945[46] menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003.[47] Namun lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk pada tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan sembilan hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.[48]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.[49] Selain itu Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[50]
Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah constitutional review atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep constitutional review merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua tugas pokok, yaitu (a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan (b)  melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.[51]
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.[52] Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische reshtsstaat).
Kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Kewenangan ini dilaksanakan untuk menjaga ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau merugikan hak konstitusional warga negara. Batu ujian yang digunakan tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Yang dijadikan alat untuk menguji apakah suatu ketentuan undang-undang melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga cita-cita dan prinsip dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi, berbagai permasalahan baru yang mendasar senantiasa muncul dalam proses penataan kehidupan bernegara terkait dengan dasar negara Pancasila dan perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi kapitalisme. Permasalahan tersebut diantaranya adalah; (a) hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan dan peran pemerintahan; (d) akibat dan batasan intervensi negara dalam masyarakat; dan (e) masalah kedaulatan negara berhadapan dengan perkembangan hukum internasional.[53] 
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945  yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga selalu melihat secara utuh UUD 1945. Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi berdasarkan cita negara (staatside)dan landasan filosofis (filosofische grondslag) bangsa Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik[54], ekonomi[55], dan sosial[56] terkait dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai batu ujian atas permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi secara otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila sebagai materi konstitusi dan mempertahankannya sebagai ideologi terbuka. Mahkamah Konstitusi mengelaborasi nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila untuk menentukan apakah sesuatu ketentuan undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Disamping itu, melalui pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila sebagai ideologi terbuka dengan senantiasa mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakat internasional sehingga tidak menjadi ideologi tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Hal ini juga dapat dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan yang lain terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan memutus usulan DPR untuk pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden.


Penutup
Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man” sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun gender.
Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat dari perumusan ketentuan UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Seluruh ketentuan masalah hak asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan “setiap orang” atau “setiap warga negara” yang menunjukkan tidak ada pembedaan berdasarkan gender. Bahkan dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Walaupun telah ada jaminan konstitusional, namun realitas menunjukkan bahwa diskriminasi gender masih terjadi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari stereotype dan budaya patriakhi yang dominan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan pada saat negara-negara kawasan Asia dan Amerika Latin sudah banyak yang pernah dipimpin oleh perempuan, negara Eropa masih jarang, bahkan di Amerika belum pernah sama sekali.
Berhadapan dengan realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal memang dominan.
Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Salah satu wujud affirmative action ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah tentang kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif, baik tingkat pusat maupun daerah, yang diusulkan oleh partai-partai politik peserta Pemilu 2004. Hanya saja disayangkan rumusan ketentuan mengenai hal itu, yakni Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD[57] tersebut, tidak bersifat memaksa (imperatif) karena menggunakan kata ”dapat”, bukan kata ”wajib” atau ”harus”. Akibatnya, para anggota lembaga legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi keterwakilan 30 persen adalah kaum perempuan.
Terlepas dari berbagai jaminan persamaan hak dan kemudahan dan perlakuan khusus dalam UUD 1945, yang menentukan diakui tidaknya kesejajaran perempuan dan laki-laki serta berperan tidaknya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, adalah kualitas manusianya. Kalaupun telah diberikan perlakuan khusus dan kultur sosial sudah tidak bias gender, namun jika tidak memiliki kualitas yang memadai, perempuan tidak akan dapat memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan. Kebijakan tersebut juga akan berujung sebagai penghias bibir semata.
Maka peningkatan kualitas dan kemampuan perempuan harus menjadi agenda bangsa secara keseluruhan, maupun partai-partai politik, di samping perjuangan secara struktural dan kultural. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai proses pendidikan dan pelatihan serta memperluas medan pengalaman dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


DAFTAR PUSTAKA




Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: MacMillan Education LTD, 1989.
Almond, Gabriel A. and G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics; A Developmental Approach. Little, Brown and Company Inc., 1966.
Andrews, William G. Constitutions and Consti­tu­tio­nalism.  3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
_______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
_______________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Asshiddiqie, Jimly dan Mustafa Fakhry. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002.
Attamimi, A. Hamid A. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV. Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1990.
Bahar, Saafroedin Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Bogdanor, Ver­non (ed). Blackwell’s Encyclopedia of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol.1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Friedrich, Carl J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.
_____________. Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe and America. Fourth Edition. Massachussets-Toronto-London: Blaisdell Publishing Company, 1967.
Hewitt, Martin. Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State. Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992.
Jessop, Bob. State Theory. Cambridge: Polity Press, 1990.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
___________.  Pure Theory Of Law. Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University Press, 1999.
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge. Penerjemah: F. Budi Hardiman. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3. London: Blackstone Press Ltd., 1997.





                                         


[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
[2] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230.
[3] Arti kata ideology menurut Kamus Oxford adalah (1) a set of ideas that an economic or political system is based on; (2) a set of beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah “the system of ideas and imagery through which people come to see the word and define their needs and aspiration”, dan “a system of ideas, beliefs and values that individuals and societies aspire toward.” Lihat, Martin Hewitt, Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State, (Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
[4] Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge, Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.
[5] Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal. 232-238.
[6] Ibid., hal. 232-233.
[7] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.
[8] Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang konstitusi Inggris, “In other words the British constitution was not made, rather it has grown”. Ibid., hal. 5.
[9] O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed., (London: Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5.
[10] Lihat misalnya Brian Thompson, op. cit., hal. 5.
[11] J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, vol.1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.
[12] Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal. 255.
[13] William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Consti­tu­tio­nalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political commu­nity have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
[14] Ibid., hal.12-13.
[15] Lihat, Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia Usaha”, makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Wisuda XX Universitas Sahid, Jakarta 20 September 2005.
[16] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[17] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[18] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
[19] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[20] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[21] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini  meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
[22] Teori Hans Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu Pure Theory of Law:  Introduction to the Problematic of Legal Science; Pure Theory of Law; dan General Theory of Law and State.
[23] Ibid., hal. 37. A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hal. 359.
[26] Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[27] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[28] Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[29] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115.
[30] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967), hal. 201 – 205.
[31] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 115
[32] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of Law, Op Cit., hal. 195.
[33] Attamimi, Op Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 – 37.
[34] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125. Kelsen, Pure Theory, Op Cit., hal. 221 – 224.
[35] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 117.
[36] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[37] Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.
[38] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51.
[39] Ibid., hal. 51 – 52.
[40] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.
[41] Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[42] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Op Cit. (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.
[43] Disebut juga dengan “the centralized system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[44] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109.
[45] Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002).
[46]   Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[47]   Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4316.
[48] Sembilan hakim konstitusi pada MKRI yang pertama ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003, tanggal 15 Agustus 2003.
[49]   Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[50]   Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, juncto Pasal 10 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[51]   Asshiddiqie, Model-Model Pengujian, Op Cit., hal. 10-11.
[52] Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004, hal. 2-3, 10.
[53] Bob Jessop, State Theory, (Cambridge: Polity Press, 1990), hal. 48.
[54] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mengembalikan hak politik pasif dan aktif eks anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya dengan menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[55] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 002/PUU-I/2003 dalam perkara permohonan konstitusionalitas Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena Pasal-Pasal yang diuji dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 merupakan jantung dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2002.
[56] Misalnya Putusan No. Perkara 011/PUU-III/2005 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[57] Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4277.