Sebuah Kajian Budaya*
Oleh: Indriyanto**
Pendahuluan
Dalam sejarah pergerakan nasional dan kontemporer Indonesia, peranan para
tokoh sejarah memegang kunci bagi kemerdekaan Indonesia. Sejarah para tokoh dan
organisasi serta tujuannya banyak menghiasi perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa lalu
mereka menjadi penganjur terwujudnya cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan rakyat.
Mereka banyak terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan konflik politik yang
terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Setelah Indonesia merdeka, mereka
dihadapkan pada persoalan bagaimana mempraktekkan apa yang dicita-citakan dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat. Di antara mereka yang menarik untuk dibahas adalah
Soekarno-Hatta, karena keduanya berhasil menjadi pimpinan puncak ketika Indonesia
merdeka hingga mereka kemudian “berpisah” secara baik-baik karena keyakinan politik
yang berbeda.
Akhirnya, tingkah laku politik kedua tokoh ini kemudian banyak menjadi kajian
berbagai ilmu. Namun demikian, seruncing apapun konflik tersebut, ternyata tidak
memunculkan bentuk-bentuk perilaku politik yang cenderung anarki di antara keduanya.
Mereka selalu menunjukkan persatuan dan kekompakan dalam hubungan sosial maupun
kekeluargaan. Hal ini ditunjukkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hingga akhir hayat
mereka. Satu hal yang patut kita renungkan adalah bagaimana kita menyikapi tingkah
laku sebuah pertentangan politik tanpa harus meninggalkan demokrasi dan hukum.
Adakah konflik politik antara Soekarno dan Hatta yang bisa diambil sebagai pelajaran?
Sebenarnya banyak teori dan pendekatan yang mencoba menganalisis tentang
tingkah laku politik dalam kaitannya dengan moral, etika, budaya, maupun norma politik.
Namun yang lebih penting dalam praktek politik, adalah aplikasi norma politik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa yang dituju oleh norma politik adalah
masyarakat, baik sebagai penguasa atau pemerintah dan warga masyarakat itu sendiri.
Sementara tingkah laku politik menyangkut dua sisi, yaitu sisi ideal yang berasal dari
pikiran dan perasaan manusia, dan sisi lingkungan tempat manusia hidup.
Perjalanan politik kedua tokoh sejarah ini tidak bisa dilepaskan dengan pikiran,
perasaan dan lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Pengaruh inilah yang kemudian
memperlihatkan perbedaan pandangan dan tindakan mereka dalam praktek politik.
Sementara itu, dalam proses berpolitik, orientasi berpikir, prioritas kepentingan dan citacita, serta kebijaksanan dari para pelaku politik semakin mengental menjadi kultur
politik. (Apter, 1977) Sudah tentu, bahwa kultur politik yang menjadi background dari
tingkah laku politik seseorang dalam aplikasinya berupaya untuk mencapai suatu cita-cita
negara. Tingkah laku politik seseorang harus didasari oleh norma dan etika yang
berfungsi sebagai moral politik dari para politisi. Oleh karena itu untuk mencapai suatu
cita-cita negara, belumlah cukup bila para politisi hanya didukung oleh kesadaran etis
saja, tetapi juga produk-produk peraturannnya harus dilandasi oleh moral. Dengan
demikian, segala tindakan harus didukung oleh perasaan kesusilaan bahwa hak negara
dan politisi ada batasnya, ada hukum yang mengatur di dalamnya. Soekarno-Hatta dalam Kancah Perjuangan
Kolonialisme Belanda di Indonesia, telah berurat dan berakar menguasai
kehidupan bangsa Indonesia. Dominasi politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial,
dan penetrasi budaya, adalah wujud nyata dari kolonialisme. Perjuangan pergerakan
Indonesia yang dimulai sejak awal abad XX, semakin lama semakin menunjukkan
kegigihannya. Organisasi, taktik, dan strategi berjuang yang lebih modern menjadi ciri
pergerakan bangsa Indonesia pada saat itu.
Setelah Perang Dunia I, semakin banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di
Belanda dan mereka terlibat dalam pergerakan Indonesia, yaitu Indisch Vereeniging
tahun 1908 yang kemudian setelah tahun 1925 menggunakan nama Perhimpunan
Indonesia (PI) serta menerbitkan majalah “Indonesia Merdeka” yang dipelopori oleh
Hatta. PI mencoba menyadarkan teman-teman seperjuangan tentang komitmen sebagai
bangsa yang bersatu dan merdeka, menghapus gambaran orang Belanda tentang
Indonesia, dan mengembangkan ideologi yang bebas dari pembatasanpembatasan
khususnya komunisme. (Ingleson, 1988) Itulah ideologi nasionalis PI yang didalamnya
mempunyai unsur kesatuan nasional yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia; unsur solidaritas untuk mempertajam konflik dengan penjajah; unsur
nonkooperasi yang jadi dasar bahwa kemerdekaan harus direbut; dan unsur swadaya yang
mendasari kepercayaan atas kekuatan sendiri. Skema perjuangan Hatta dan kawan-kawan
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada tahun 1932, Hatta menjadi ketua PNI-baru. Organisasi ini pada tahun 1933
sudah mempunyai 65 cabang, dan kegiatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka terus
dilakukan. Ketika PPPKI dibentuk, Hatta tidak setuju dan PNI-Baru nya juga tidak jadi
anggota “persatuan” itu. Ia bersikap kritis atas “persatuan” itu dan menyebutnya sebagai
“persatean”. Atas kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan tersebut, menyebabkan
pemerintah kolonial menangkapnya tahun 1934. (Pringgodigdo, 1984)
Sementara itu, Soekarno yang lulus ELS tahun 1921, sejak masa mudanya dekat
dengan tokoh HOS Cokroaminoto. Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai
karier politik yang sesungguhnya pada tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun
kemudian berhasil mendirikan PPPKI tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan
dia selalu memikirkan rakyat dalam objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai
pemikiran yang anti elitisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan
soal-soal ekonomi dan lebih suka berpikir sosial demokrat. Tahun 1930, Soekarno
ditangkap karena ucapan-ucapannya yang keras terhadap pemerintah kolonial.
(Onghokham dalam Abdullah, 1978: 20) Dalam usaha untuk mencapai Indonesia
merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada para pemimpin organisasi pergerakan,
hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih dulu dalam suatu organisasi rakyat
umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut
Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika
bangsa Indonesia tidak mempunyai persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan
menjadi bola permainan negeri-negeri yang berperang saja.
Buah pemikiran Soekarno yang sangat dikenal adalah faham Marhaenisme.
Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencitacitakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah
sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme dengan
kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme menolak setiap tindakan
borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang
mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi
timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan
atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama.
Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi yang menuju kepada kesejahteraan sosial,
kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa. (Hananto.2005: 38-41;
Pataniari, 2002, 116)
Soekarno juga yakin, bahwa untuk menentang kolonialisme dan imperialisme
serta.mewujudkan persatuan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah dengan
menyatukan tiga.aliran paham besar yang ada di masyarakat Indonesia, yaitu
nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Ketiga gelombang besar ini bisa bersatu untuk
melawan kolonialisme (Soekarno, 1964). Nasionalisme menekankan pentingnya batasbatas dan kepentingan nasional, agama (Islam) pada dasarnya bersifal universal, menolak
batas-batas nasionalisme dan materialisme ala Marx. Namun demikian ketiganya
memiliki tujuan yang sama. Melihat situasi demikian, Soekarno merasa tertantang dan
yakin bahwa persatuan diantara ketiganya akan menghasilkan kemerdekaan Indonesia.
Inti dari persatuan adalah saling memberi dan menerima. Persatuan tidak akan terjalin
jika masing-masing pihak tidak memahami kedua unsur tersebut. Selain itu, BK juga
menyarankan untuk menempuh jalan non-kooperasi, yakni menolak bekerja sama dengan
pemerintah kolonial (Wardaya, 2006:38-42).
Pertentangan Soekarno-Hatta
Benih-benih perbedaan pemikiran antara Soekarno-Hatta mulai tampak antara
tahun 1930an, ketika mereka berpolemik tentang cara mencapai cita-cita bangsa,
sosialisme, nasionalisme, kiprah dalam organisasi politik, dan lain-lain. Meskipun
demikian, perbedaan dan pertentangan politik antara Soekarno-Hatta tidak sampai
menjadikan mereka saling berbuat anarki. Justru pada masa Jepang dan menjelang
kemerdekaan mereka lebih bahu-membahu dalam mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia.
Bagi Hatta, sikap nonkooperasi harus bersifat kompromis, artinya harus melihat
realitas politik yang ada. Namun bagi Soekarno, nonkooperasi harus lebih radikal dan
berseberangan dengan pihak penjajah. Soekarno mengistilahkan dengan kaum “sana” dan
kaun “sini” untuk membedakan antara penjajah dengan rakyat terjajah. Pertentangan ini
terus berlanjut ketika Soekarno berusaha menyatukan Partindo dan PNI Baru. Mereka
berbeda tentang asas perjuangan. Hatta berpendapat bahwa perjuangan kemerdekaan
membutuhkan waktu bertahun-tahun karena rakyat harus dididik dulu ke arah itu. Akan
tetapi bagi Soekarno, kemerdekaan akan tercapai bila tercipta pembentukan kekuatan dan
pemakaian kekuatan rakyat. Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending.
Mencerdaskan rakyat saat itu memang akan terhindar dari penjara, tetapi juga terhindar
dari kemerdekaan. Sementara perbedaan tentang cara melawan kapitalisme, juga terlihat
di antara keduanya. Soekarno memandang perjuangan melawan melawan kapitalisme
merupakan perjuangan nasional dan perjuangan kebangsaan dengan kekuatan utama kaum marhaen, sedangkan Hatta berpendapat bahwa yang dilakukan Soekarno adalah
perjuangan ras, padahal yang dibutuhkan adalah perjuangan klas. (Alam, 2003: 44-75)
Soekarno lebih tertarik untuk menggerakkan massa daripada membentuk kader
partai sebagaimana yang diinginkan Hatta. Kalaupun suatu pergerakan akan menjadi
kekuatan sejati untuk melawan kolonial, maka hal itu bisa terjadi melalui pendidikan
massa rakyat dan latihan suatu elit yang tidak hanya membakar semangat rakyat,
melainkan memberikan pencerahan kepada mereka. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan
antara Partindo dan PNI lama. Dengan alasan lama, mereka pun tetap menganut paham
non-kooperasi karena hanya suatu pergerakan yang mengandalkan kekuatan dan
kemampuan sendiri sajalah yang dapat mencapai kemerdekaan.
Di kalangan mereka, kritik Hatta itu dianggap sebagai campur tangan yang
kasar dalam pergerakan. Pandangan yang sama dianut oleh kelompok Hatta. Perbedaan
antara kedua golongan itu hanyalah menyangkut cara perjuangan yang harus dilakukan,
apakah dengan agitasi atau pendidikan terhadap rakyat. (Dahm, 1987: 158-161)
Pertentangan Soekarno-Hatta ini terus berlanjut sampai kedatangan Jepang.
Pada jaman Pendudukan Jepang mereka bisa menyatu sebagai dwi-tunggal sampai tahun
1950an. Pertentangan mulai terjadi lagi ketika Soekarno berusaha comeback sebagai
pimpinan eksekutif dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Pada akhir tahun 1957, terjadi
pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda oleh kalangan komunis.
Pengambilalihan ini menimbulkan banyak kecaman, terutama dari Hatta yang
menyebutnya sebagai tidakan bodoh dan tidak bijaksana. Pengambilalihan ini hampir
mengakibatkan ambruknya perekonomian di Indonesia, terutama di bidang perdagangan.
Sementara itu, muncul rasa ketidakpuasan masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah
hingga akhirnya muncul ketegangan antara pusat dengan daerah luar Jawa. Kabinet yang
dibentuk pemerintah tidak menyertakan Masyumi, padahal Masyumi merupakan prtai
yang memiliki banyak pendukung di luar Jawa. Selain itu, tuntutan akan otonomi daerah
yang digulirkan oleh daerah ternyata tidak mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah pusat. Ketika terjadi krisis daerah tersebut, peranan Dwi Tunggal sangat
diharapkan untuk menyelesaikannya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya yaitu pecahnya
BK dan Hatta. Pada akhir 1957 Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden RI. Hal itu menunjukkan bahwa ia tidak bersedia mengikuti jalan yang sudah
digariskan oleh BK.
Tinjauan Budaya terhadap Pertentangan Soekarno-Hatta
Sebenarnya, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1950-an,
kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dikelola dengan berhasil. Prestasi ini
disimbolisasikan oleh keberadaan Dwitunggal Soekarna-Hatta, yang bukan sekedar
merupakan jaminan simbolis, akan tetapi dalam batas tertentu bahkan riil, bahwa
penduduk luar Jawa telah menjadi mitra dengan posisi yang sejajar bagi orang-orang
Jawa yang mendominasi penyelenggaraan kekuasaan politik di Indonesia. Seorang
Indonesianis melukiskan keadaan ini dengan mengatakan bahwa Soekarno sebagai
mistikus Jawa dan eklektikus kawakan dan Hatta sebagai puritan Sumatera telah saling
melengkapi tidak hanya secara politis melainkan juga secara primordial. Dwitunggal juga
merepresentasikan persekutuan antara Soekarno yang mewakili sinkretisme Jawa dan
Hatta yang mewakili merkantilisme Islam dari luar Jawa (Geertz, 1992: 104). Sayangnya, menjelang pertengahan kedua tahun 1950-an hubungan antara
Soekarno dan Hatta yang semula harmonis mulai diwarnai ketegangan yang terus
meningkat dan sulit diperdamaikan, sehingga Hatta kemudian memutuskan untuk
meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden pada akhir 1957. Pertentangan antara
Soekarno dan Hatta menarik untuk dijelaskan, sebab dengan melihat posisi simbolis
Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Presiden mempunyai implikasi yang
tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta
dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap
legitimasi pemerintah pusat. Selain itu, sejak Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai
menjadi satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia,
keseimbangan politis terganggu, dan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah
pusat.
[1]
Setiap pemegang kekuasaan tentu akan menggunakan kekuasaan untuk
mengatur Negara dan dan rakyat baik secara politis maupun sosial. Seperti dikatakan
Flechteim, “social power is the sum total of those capacity, relationships, and processes
by which compliance of others is secured...for ends determined by the power holder” (
Iver, 1961: 87). Kekuasaan politik pada dasarnya merupakan bagian dari kekuasaan
sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang
mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial, termasuk dengan
menggunakan kekerasan.
Meskipun demikian, kekuasaan perlu dibatasi dengan etika politik. Etika Politik
menjadi dasar moral bagi politik karena harus memperhatikan pada peran demokrasi
dalam memberi legitimasi pada penguasa politik. (Shapiro, 2003: 203) Etika politik
adalah gerabang penjaga bagi bangunan cita-cita perjuangan kebangsaan dan kenegaraan.
(Baasir, 2003: xxxvii) Etika mempunyai peran yang signifikan dalam mengeliminasi
konflik dalam berbagai kehidupan.
Kendati demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke
dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi
juga hubungan kultural baik sebagai keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu.[2]
Dua alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, seperti telah
disampaikan di muka, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi
juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa,
sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme. Unsur-unsur
kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan sikapsikap emosional mengenai cara-cara menjalankan pemerintahan. Oleh karenanya,
kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap sebagai ekspresi untuk menunjukkan
lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat sistem politik itu berjalan. Tindakan
politik ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti tradisi, ingatan sejarah, motif,
norma, emosi, dan simbol (Kavanangh, 1983: 4-5)
Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang
terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society). Istilah masyarakat
majemuk telah digunakan oleh Furnivall untuk menggambarkan situasi sosial di Burma
dan Jawa pada masa kolonial. Di kedua tempat itu orang-orang bumiputera, imigran Cina
dan India, dan orang-orang Eropa hidup bersama, tetapi kehidupan mereka tidak
menyatu. Di Burma, seperti juga di Jawa, suatu pemandangan yang paling menarik bagi
seorang pengunjung adalah adanya berbagai jenis manusia.... Mereka bercampur, tetapi
tidak bersatu. Setiap golongan mengikuti agama, budaya, bahasa, pandangan hidup, dan
norma masing-masing. Sebagai individu mereka berjumpa, tetapi ini hanya terjadi di
pasar ketika mereka berjual beli. Ini merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai
golongan masyarakat yang hidup berdampingan namun terpisah, di bawah satu kesatuan
politik yang sama. Di dalam sektor ekonomi pun terjadi pembagian tenaga kerja menurut
garis-garis etnik... (Furnivall, 1984: 304).
Pada satu sisi kemajemukan dapat menghasilkan daya dorong ke arah kemajuan.
Namun pada sisi yang lain kemajemukan dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang
mengarah pada terjadinya konflik. Pergeseran-pergeseran dalam hubungan antara
Soekarno dan Hatta dapat digunakan untuk menunjukkan potensi ganda pluralisme, baik
sebagai kekuatan pembentuk integrasi nasional maupun pemicu perpecahan. Masyarakat
majemuk ditandai oleh adanya pembelahan sosial yang berakar pada perbedaan etnisitas,
ras, agama, dan geografis (Liddle, 1970: 4-5), atau yang oleh Geertz (1992: 82) disebut
sebagai sentimen primordial (primordial sentiment).[3] Pada masa Orde Lama sentimen
primordial terekspresikan di dalam ‘aliran’ (ideological stream) yang bersumber dari
keyakinan agama dan nilai-nilai kultural. Aliran menciptakan ketergantungan dan
loyalitas massa terhadap pemimpin-pemimpin mereka dalam suatu pola hubungan
patron-klien (Antlöv and Cederroth, 1994: 5).[4]
Berdasarkan hal ini, maka bagi para pendukungnya, baik Soekarno maupun
Hatta dapat dilihat sebagai patron. ‘Persekutuan’ yang berhasil antara Soekarno dan Hatta
dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengakomodasikan
motivasi para pengikutnya untuk membangun negara baru. Masyarakat di negara baru
selalu diliputi oleh motivasi yang sangat kuat untuk membangun identitas yang
mengantarkan mereka untuk mendapatkan pengakuan umum sebagai pihak yang turut
bertanggung jawab dan mempunyai kontribusi yang berharga terhadap negara. Mereka
juga dilekati oleh semangat untuk membangun negara modern yang efisien dan dinamis.
Semangat ini mempunyai tujuan lebih luas yang bersifat praktis, antara lain adalah
pencapaian kemajuan, peningkatan taraf hidup, penciptaan tatanan politis yang efektif,
pembentukan keadilan sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran yang
dianggap penting dalam panggung politik. Hubungan harmonis yang diperlihatkan oleh
dwitunggal sebelum Hatta menyatakan pengunduran diri dari jabatan Wakil Presiden
menunjukkan bahwa Soekarno yang merepresentasikan Jawa masih dapat berjalan seiring
dengan Hatta yang merepresentasikan luar Jawa.
Menurut Fachry Ali (1987) praktik politik kekuasaan dalam Indonesia modern
pada dasarnya merefleksikan pemikiran tentang kekuasaan dalam tradisi Jawa. Dalam
pandangan orang Jawa tradisional, kekuasaan dilihat sebagai sebagai “something
concrete, homogeneous, constant in total quantity, and without inherent moral
implication as such” (Anderson, 1981: 8). Meskipun kelas atas dalam masyarakat Jawa
tradisional didefinisikan secara struktural, mereka juga dilekati oleh nilai-nilai etis dan
mode perilaku yang berkaitan erat dengan fungsi tradisional kelas atas. Merujuk Geertz
(1981), perbedaan antara kelas atas dan orang kebanyakan adalah pada karakter halus
(Jawa: alus) yang menjadi inti etis priyayi.
Kehalusan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai diri,
berpenampilan ‘cantik’ dan elegan, berperilaku bijaksana, dan sensitif. ‘Alus’ diperoleh melalui usaha yang terus menerus untuk mengolah ‘rasa’ dan menguasai pemusatan
‘energi putih’. Dalam pemikiran Jawa tradisional, alus merupakan salah satu tanda
kekuasaan, sebab kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan energi dan seseorang
yang ‘halus’ akan ditempatkan pada status dan kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih
dekat dengat pusat kekuasaan (Anderson, 981: 39 dan 42). Ini berarti bahwa sebelum
pertentangan dengan Hatta mencuat ke permukaan, Soekarno berhasil menampilkan
dirinya sebagai priyayi.
Kendati demikian, negara baru selalu rentan terhadap rasa tidak suka yang
serius yang bersumber dari sentimen primordial. Masalah primordialisme adalah masalah
utama republik ini. (Onghokham, 1985:5) Ikatan-ikatan primordial sesungguhnya
merupakan patologi dalam praktik kehidupan berpolitik di negara-negara modern.
Sebabnya adalah sentimen primordial hanya menghasilkan integrasi yang semu dengan
mengandalkan rasa setia kawan (fellow feeling) yang tidak stabil. Ambedkar (dikutip
Geertz, 1992: 181) berpendapat bahwa rasa setia kawan ini memang mampu melembaga
dan membuat mereka yang diliputinya merasa sebagai kawan dan atau kerabat, dan ini
merupakan modal yang berharga bagi sebuah negara yang stabil dan demokratis. Namun
sentimen ini selalu bersegi ganda. Di satu sisi ia dapat menjadi kekuatan yang
menyatupadukan dan sekaligus melampaui segala perbedaan, namun pada pihak lain juga
menciptakan sekat antara seseorang atau sekelompok orang dari dari mereka yang
dianggap berbeda, ‘bukan kawan dan bukan kerabat’. Hal itu cukup jelas tercermin dari
perbedaan-perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta.
Sebenarnya primordial bisa diubah menjadi demokrasi pluralistis, dengan segala
aspeknya seperti adanya otoritas primordial, keharusan berkompromi, adanya koalisi
yang bertanggungjawab dan ideologi yang inklusif, bukan eksklusif. Hal ini akan
mendasari kultur politik, yang terbentuk tawar menawar. (Apter, 1977: 492) Akan tetapi,
meskipun pertentangan itu telah mendapatkan bentuknya yang paling akhir berupa
terpecahnya dwitunggal, Soekarno masih tetap berlaku sebagai seorang yang memegang
etis priyayi yang menjunjung tinggi keselarasan atau harmoni sosial. Kehidupan bersama
diidealkan berlangsung secara tenang dan penuh kerukunan.
Usaha untuk mencapai tujuan itu melibatkan dua prinsip, yaitu rukun dan
hormat. Prinsip rukun mendorong orang Jawa dalam setiap situasi berusaha menyatakan
sikap dengan cara sedemikian rupa, sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip
ini bersumber dari pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional sebagai nilai
tertinggi dan didasarkan pada kewajiban moral untk mengendalikan hasrat hati dan
menjaganya agar tak terlepas dari kesadaran, sehingga tidak menimbulkan tanggapan
emosional yang berlawanan dari orang lain. Sementara prinsip hormat membuat orang
Jawa dalam berbicara dan menampilkan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap
orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Geertz, 1961: 146). Kedua prinsip
tersebut merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret
hubungan social yang diusahakan terjadi dalam keselarasan, ketenangan, dan
ketenteraman, tanpa perselisihan, bersatu dalam maksud saling membantu, sekaligus
berlangsung teratur secara hirarkis sehingga para pelakunya dipaksa untuk
mempertahankan dan membawa diri sesuai dengan posisi sosialnya (Magnis-Suseno,
1991: 38-39). Dengan kata lain, masyarakat Jawa adalah “masyarakat krama” yang
menampilkan diri sebagai orang-orang yang sadar unggah-ungguh. Itulah sebabnya, Soekarno tetap memperlihatkan sikap respek pada Hatta biarpun mereka saling berbeda
pendapat.
Daftar Pustaka
Ali, Fachry. 1987. Refleksi Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta:
Gramedia.
Anderson, Benedict R. O’G.. 1981. “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam
Claire Holt, ed.. Culture and Politic in Indonesia. Ithaca and London. Cornell
Univerity Press.
Antlöv, Hans and Sven Cederroth. 1994. “Introduciton”, dalam Hans Antlöv and Sven
Cederroth (ed.). Leadership on Java: Gentle Hints, Authoritarian Rule.
Richmond. Curzon Press Ltd.
Antlöv, Hans. 2003. Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Terjemahan
Pujo Semedi. Yogyakarta. Lappera Pustaka Utama.
Baasir, Faisal. 2003. Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim. Jakarta. Sinar
Harapan
Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES.
Furnivall. 1984. Colonial Policy and Practise. London. Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri,dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan
Aswab Mahasin. Jakarta. Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, terjemahan Francisco Budi Hardiman.
Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Geertz, Hildred. 1961. The Javanesse Family: A Studi of Kinship and Socialization. The
Free Press of Glencoe.
Hananto, Yuli. 2005. Bermuka Dua; Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno beserta
Keluarganya. Yogyakarta. Ombak.
Kavanagh, Dennis. 1983. Pergeseran-pergeseran Politik dalam Masyarakat. Bandung.
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer.
Terjemahan Samuel Gunawan. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Liddle, William R.. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case
Study. New Heaven. Yale Universiy Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan
Hidup Jawa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Mc Iver, Robert. 1961. The Web of Government. New York. The MacMillan Company.
Mulder, Niels. 1992. “The Ideology of Javanese-Indonesian Leadership”, dalam Hans
Antlöv and Sven Cederroth (ed.). Leadership on Java: Gentle Hints,
Authoritarian Rule. Richmond. Curzon Press Ltd.
Onghokham, “Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma No. 8, Tahun XIV,
1985.
Pataniari S. 2002. Api Perjuangan Rakyat. Jakarta: LKEP Lembaga Kajian Ekonomi
Politik.
Shapiro, Ian. 2006. Asas Moral dalam Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian
Massal 65 hingga G 30 S. Yogyakarta. Galangpress.
------------------------------------ * Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi “Pertentangan SukarnoHatta: Etika Politik dalam Perspektif Sejarah dan Hukum” Himpunan Mahasiswa
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNDIP, Semarang 15 Maret 2007.
** Drs. Indriyanto, S.H.,M.Hum.,dosen Jurusan Sejarah Fak.Sastra UNDIP
[1]Gejala serupa ini juga dapat ditelusuri melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Pada
umumnya orang meyakini bahwa Pemilu 1955 merupakan contoh Pemilu paling
demokratis sepanjang sejarah Indonesia sampai dengan akhir kekuasaan rezim Orde
Baru. Namun pada sisi yang lain Pemilu pada tahun itu sesungguhnya juga telah
memperlihatkan adanya kenyataan bahwa sejumlah unit kekuasaan yang penting dalam
masyarakat Indonesia seperti antara lain angkatan bersenjata, komunitas keturunan
Tionghoa, dan pengusaha ekspor-impor dari luar Jawa tidak cukup terwakili secara
memadai dalam sistem politik yang berlaku ketika itu. Di samping itu, dalam Pemilu
1955 juga mulai muncul gejala terjadinya pergeseran pusat kekuasaan politik dari
Dwitunggal Soekarno-Hatta ke partaipartai.
[2]Kultur dapat dipahami sebagai jaringan makna yang digunakan oleh manusia untuk
menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan mereka sebagai mode of human
being in the world. Hasil atau wujud dari tindakan manusia tersebut adalah jaringan
hubungan sosial yang secara umum disebut sebagai masyarakat atau struktur sosial.
Kultur dan struktur sosial, dengan demikian merupakan abstraksi yang berbeda dari
realitas yang sama (Geertz, 1957: 33-34). Dengan cara yang berbeda, Victor Turner
menggambarkan hubungan antara kultur dan struktur seperti hubungan antara partitur
musik dengan orkestra. Partitur adalah kultur yang berisi sistem kode yang penuh
makna dan berfungsi memandu penampilan pemain-pemain orkestra. Sementara
orkestra yang terdiri atas pemainpemain dengan peranan yang berbeda-beda, tetapi
tersusun sebagai suatu sistem yang harmonis, adalah struktur social (dikutip Keesing,
1989: 75-76). Dalam definisi ini kebudayaan berfungsi untuk mengatur atau
mengendalikan kehidupan masyarakat agar berjalan secara harmonis.
[3]Geertz menyebut integrasi nasional dengan istilah revolusi integratif, yaitu
berhimpunnya berbagai kelompok primordial-tradisional ke dalam unit
kemasyarakatan yang lebih besar dan bersifat menyebar. Berbagai kelompok itu
sebelumnya berdiri sendiri dan kemudian harus memiliki suatu kerangka acuan dalam
lingkup ‘bangsa’ di bawah perlindungan suatu pemerintahan baru. Dalam hal ini,
Indonesia adalah sebuah identitas baru yang menyatukan berbagai kelompok
primordial-tradisional yang terbentuk berdasarkan ikatan kekerabatan, bahasa, daerah,
agama, dan adat-istiadat. Selain primordial sentiment, penghalang revolusi integratif
yang tak kalah penting adalah civil politics yang menunjuk pada usaha untuk
menempatkan peranan militer di bawah kendali penguasa sipil (Geertz, 1992: 82-84,
dan 105).
[4]Pasca 1965, atau sejak lahirnya Orde Baru, terjadi perubahan yang mendasar. Era
aliran berakhir dan berganti dengan era baru melalui pemberlakuan ideologi tunggal
Pancasila. Hubungan antara negara dan rakyat tidak lagi dibangun berdasarkan
loyalitas menurut aliran-aliran, tetapi terjadi secara langsung, karena negara
menghadirkan dirinya dalam kehidupan masyarakat lokal sampai ke tingkat desa
melalui wakil-wakilnya dan melalui berbagai kebijakan pembangunan (Antlöv, 2003).
Hubungan antara rakyat dan negara diorientasikan pada penyatuan politik dan moral, yang dikonsepsikan sebagai ‘kepentingan bersama’ yang dapat dicapai melalui cara
‘kekeluargaan’ (Mulder, 1992: 58).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar