Desentralisasi yang lazim dikaitkan dengan pemberian otonomi kepada suatu daerah untuk mengatur pelaksanaan pemerintahannya disebut dengan istilah dekonsentrasi. Poses desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pelaksanaan pemerintahan telah menjadi fenomena sejarah sejak ja¬man kolonial hingga jaman reformasi.
Pilkada Jaman Kolonial Belanda
Sejarawan Anhar Gonggong menerangkan, sebelum 1903, pemerintahan Belanda membagi Hindia Belanda kedalam dua sistem pemerintahan, pertama daerah administratif dalam rangka dekonsentrasi yang dikenal dengan sebutan gewesten, afdelingan, danonderafdelingan. Masing-ma¬sing daerah berada di bawah seorang Pamong Praja dengan sebutan Gubernur, Residen, Asisten Residen, Wedana, dan Asisten Wedana yang dipilih secara penunjukan oleh Gubernur Jenderal.
Kedua, sistem pemerintahan tradisional-feodalistik, dikenal dengan sebutan regent(kabupaten) yang dipimpin oleh Bupati dan daerahnya disebut Swapraja. Proses pemilihannya dilakukan secara tradisional (pengakuan oleh rakyat). Hal itu didasarkan pada Pasal 67 Konstitusi Belanda (Regerings Reglement) yang menyebutkan, Sepanjang keadaan mengijinkan maka rakyat bumi putera dibiarkan berada di bawah pimpinan langsung kepala-kepalanya baik yang diangkat oleh Pemerintah maupun yang diakui, berada di bawah pengawasan sesuai dengan ketentuan umum atau khusus yang telah ditetapkan atau yang akan ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.
Berpayungkan ketentuan itu, di beberapa tempat dijumpai daerah-daerah Swapraja, diperintah oleh raja-raja yang mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya. Daerah-daerah Swapraja yang jumlahnya mencapai 250 itu tetap dapat menjalankan pemerintahannya sendiri. Meskipun demikian, menurut Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI) Bhenyamin Hoessein, masing-masing raja harus melakukan Kontrak (perjanjian) Politik dengan Belanda. “Kontrak itu dibagi dua, pertama kontrak panjang (Lange Contracten), dalam kontrak ini, dirinci kekuasaan-kekuasaan Swapraja yang dapat dicampuri Belanda, diluar dari rincian itu Belanda tidak boleh campur tangan. Kedua, kontrak pendek (Korte Verklaring) yaitu daerah Swapraja hanya secara singkat menyatakan keberadaan kekuasaan Belanda di atasnya.
Tahun 1903, Pemerintah Hindia Belanda melakukan desentralisasi melalui Desentralisatie wet 1903 (UU desentralisasi 1903). Menurut Bhenyamin, meskipun desentralisasi diberlakukan, tetapi belum dikenal istilah provinsi, kabupaten, dan kota, hanya disebutgewest(daerah). “Barulah pada tahun 1922 setelah dikeluarkannya Bestuurshervormings wet 1922 (Peraturan Dasar Ketatanegaraan Hindia Belanda, yang isinya memperbaharui UU Desentralisasi 1903) lahirlah Province (Provinsi), Regentschap(Kabupaten), danStaatsgemeenten (Kotapraja),” jelasnya. Tahun 1929, JJ. Klentjes mengatakan, setelah dibentuk provinsi, kabupaten, dan kota. Maka di Hindia Belanda tidak ada lagi istilah daerah. Langsung saja adanya provinsi, kabupaten, dan kota. Namun, ketika Indonesia memasuki alam kemerdekaan, kata “daerah” kembali muncul dalam Pasal 18 UUD 1945.
Pilkada Jaman Demokrasi Parlementer
Pada 23 November 1945, keluarlah UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Di dalamnya mengatur proses pemilihan kepala daerah secara pengangkatan oleh pemerintah pusat.
Setelah UU No. 1 Tahun 1945 berjalan hampir tiga tahun, ternyata dalam praktiknya dipandang kurang memuaskan, karena isi UU tersebut sangat sederhana dan banyak hal yang menyangkut urusan pemerintahan daerah kurang jelas. Akhirnya, pada 10 Juli 1948 lahirlah UU No. 22 Tahun 1948, tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. UU ini mengatur proses pemilihan kepala daerah, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, satu diantaranya diangkat oleh pemerintah pusat. “Kadang kala pemerintah pusat membelot, yang diangkat bisa saja di luar dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Alasannya, pemerintah pusat harus mengangkat orang yang Republiken, sebab masih ada orang-orang Indonesia yang masih pro Belanda,” ujar Bhenyamin. Menurut UU ini, kepala daerah mengemban dua jabatan sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai ketua serta anggota DPRD.
Sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Indonesia telah mengalami sejarah konstitusi yang ruwet dan dramatis. Belum satu tahun UU No. 22 Tahun 1948 berlaku, dan belum banyak daerah yang mempraktikannya, jalan sejarah bergerak lain. Perang kemerdekaan yang disusul dengan Konferensi Meja Bundar melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berbentuk negara federal berikut diberlakukannya Konstitusi RIS.
Kurang dari setahun kemudian, Konstitusi RIS diubah dengan UUD Sementara yang berlaku mulai 15 Agustus 1950 (UUDS 1950). Sejak itu, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan UUD yang cukup liberal dan penuh kompromi.
Berbeda dengan UUD 1945 yang nyatanya hanya memuat satu pasal saja tentang pemerintahan daerah yaitu pasal 18, maka UUDS 1950 memiliki tiga pasal yaitu 131, 132, dan 133 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan daerah-daerah Swapraja. Bhenyamin mengungkapkan, karena Indonesia belum lama lepas dari masa RIS, maka rumusan pasal-pasal itu pun masih diwarnai pengalaman RIS. “Kenyataan itu tercermin dalam rumusan Pasal 131 ayat (2), bahwa kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri,” terangnya.
Untuk mengatur pemerintahan daerah, disusunlah UU No. 1 Tahun 1957. Bhenyamin menerangkan, UU ini sebenarnya telah mengamanatkan dalam rangka desentralisasi maka kepala daerah harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Tetapi, tidak dapat dipraktikan, sebelum ada UU tentang pemilihan langsung. Hal itu disebabkan karena Indonesia baru saja melepaskan diri dari negara federal. “Masalah ini telah menimbulkan konflik antara Muhammad Hatta dengan pemerintah. Hatta meletakan jabatan sebagai wakil presiden. Dikirimlah delegasi yang terdiri dari Arudji Kartawinata, K.H. Masykur, Mr. Hardi, Jaya Rahmat, dan P. Pardede, untuk membujuk Hatta agar mengurungkan niatnya. Dalam pertemuan itu Hatta mengatakan, sulit untuk mengurungkan niatnya. Ada sejumlah perbedaan antara dia dengan pemerintah. Dia ingin titik berat otonomi diletakan di kabupaten/kota. Tetapi, UU No. 1 Tahun 1957 menitikberatkan pada provinsi sebagai substitusi negara bagian. Dia ingin agar calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, satu diantaranya diangkat pemerintah pusat sebagaimana UU No. 22 Tahun 1948. Tetapi, UU No. 1 Tahun 1957 menghendaki agar gubernur, bupati, dan walikota dipilih langsung oleh rakyat. Kalau terjadi pemilihan langsung oleh rakyat akan terjadi republik-republik kecil. Negara Indonesia pun akan terkoyak-koyak,” terang Bhenyamin.
Akhirnya, proses pemilihan kepala daerah tetap seperti yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, satu diantaranya diangkat oleh pemerintah pusat. Dalam UU ini kepala daerah tidak lagi merangkap jabatan (dual role), tetapi dalam daerah otonom provinsi terdapat kepala daerah dan wakil pemerintah, sehingga dikenal dengan istilah dualisme personil. Yang satu menjabat jabatan dekonsentrasi, yang satunya lagi menjabat jabatan desentralisasi.
Pilkada Jaman Demokrasi Terpimpin
Situasi politik yang tidak kondusif karena berlarut-larutnya pembahasan konstitusi baru di Konstituante yang memakan waktu lebih dari dua tahun, membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yaitu kembali ke UUD 1945. Berlakunya kembali UUD 1945 berarti pemerintah pusat kembali ke posisi sentral. Sehingga otonomi yang seluas-luasnya yang berlaku ketika era demokrasi parlementer bergeser kepada demokrasi terpimpin.
Namun, hingga tahun 1965 pengaturan tentang pemerintahan daerah masih dirasakan kurang mantap. Walaupun berbagai peraturan telah dikeluarkan seperti Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah dan Penpres No. 5 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan Sekretaris Daerah.
Atas dasar itulah, pada 1 September 1965 Presiden RI mengesahkan UU No. 18 Tahun 1965tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. Isinya tidak jauh berbeda dengan dengan UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD, satu di antaranya diangkat oleh pemerintah pusat. “Dalam prosesnya, pemerintah lebih mengutamakan kemampuan (capability) orangnya. Kebanyakan bukan putra daerah, sehingga menimbulkan reaksi. Seharusnya juga mempertimbangkan sejauh mana dia diterima oleh daerah otonomi yang bersangkutan (acceptability),” jelas Bhenyamin.
Pilkada Jaman Orde Baru
Memasuki era Orde Baru, pemilihan kepala daerah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974. UU ini merupakan koreksi dan penyesuaian dari UU No. 18 Tahun 1965. Menurut Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I (gubernur) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu diajukan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Anhar menilai, proses pemilihan kepala daerah seperti itu sebenarnya hanya seremonial belaka. Semuanya sudah diatur siapa yang akan terpilih. Dengan kata lain terpilih sebelum dipilih. “Faktanya, pada tahun 1980-an, Gubernur Riau Munandar yang berasal dari militer untuk kedua kalinya dicalonkan. Dalam pemilihan internal DPRD Riau dia kalah, hanya mendapatkan 17 suara. Sementara Ismail Sukong, putra asli daerah, anggota DPRD, dan tokoh terkemuka mendapatkan 19 suara. Tetapi, yang dipilih oleh Presiden Soeharto tetap Munandar. Jadi, meskipun terpilih oleh DPRD, tidak menjadi jaminan akan dipilih oleh Presiden Soeharto,” jelas Anhar.
Bhenyamin membenarkannya, kecen¬derungan yang diangkat menjadi kepala daerah adalah militer. Sehingga Donald Emmerson, seorang berkebangsaan Amerika Serikat pernah mengatakan, di Jaman Hindia Belanda hanya ada seorang Gubernur Jendral. Tetapi, dalam alam kemerdekaan Indonesia (Orde Baru, red) banyak jendral yang jadi gubernur.
Mengapa pemerintah pusat berkepentingan mengangkat jenderal menjadi kepala daerah? Alasannya menurut Bhenyamin, karena sebuah provinsi juga sebagai batas Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam). Kerap kali Pangdam yang berpangkat Brigadir Jenderal dominan, maka diangkatlah gubernur yang pangkatnya Mayor Jenderal. Selain itu, gubernur, bupati, atau walikota juga sebagai pimpinan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), maka jabatannya harus lebih tinggi. Sebab jika sipil tidak akan berani menghadapi Pangdam.
Pilkada Jaman Masa Reformasi
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, Indonesia mengukir sejarah dalam proses demokratisasi yang ditandai oleh beragam desain kelembagaan. Pada babak awal, desain kelembagaan yang ditempuh adalah melalui pembukaan kran multipartai, dan adanya pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan adil. Desain lainnya adalah pemberian kekuasaan dan otoritas yang lebih besar kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD). Maksudnya untuk menciptakan situasi checks and balances antara eksekutif dan legislatif.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah pun didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999. UU ini menggeser pendulum dari kondisi sentralistis ke arah desentralisasi yang lebih luas. “Berdasarkan UU ini, kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD, pemerintah pusat tidak berhak campur tangan. Begitu mereka mendapatkan suara terbanyak, otomatis terpilih menjadi gubernur, bupati, atau walikota. Persoalannya gubernur merangkap dua jabatan (dual role) sebagai pejabat desentralisasi dan dekonsentrasi. Sementara jabatan bupati atau walikota semata-mata dalam rangka desentralisasi. Akibatnya pamor gubernur redup di mata bupati dan walikota, karena mereka menganggap bukan bawahan gubernur dan sama-sama dipilih langsung oleh DPRD,” tegas Bhenyamin.
Desain-desain semacam itu dirasakan belum cukup menumbuhkan kehidupan demokrasi substansial. Dalam berbagai kesempatan kita mendengar, kekuasaan yang besar kepada lembaga perwakilan kerap disalahgunakan oleh para wakil rakyat. Untuk menutupi kekurangan semacam itu, desain lanjutan diperkenalkan. Sejak 2004, presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), melainkan oleh rakyat secara langsung. Begitu pula dengan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota), penentuan kepala daerah diserahkan kepada rakyat secara langsung.
Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini, Pilkada belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada 1 Juni 2005. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Meskipun kepala daerah telah dipilih langsung oleh rakyat. Namun sebagian kalangan masih menilai proses demokrasi yang sedang berlangsung itu masih pada tataran prosedural, belum pada demokrasi substansial. Meskipun demikian Anhar meyakini, untuk mencapai demokrasi yang substansial harus melalui proses transisi. Oleh karena itu, pemerintahan hasil Pemilu 2009 harus menegaskan bahwa Indonesia telah melalui masa transisi, sehingga mengecap manisnya substansi demokrasi.
Majalah FIGUR Edisi XXII/Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar