Jumat, 07 Oktober 2011

Budaya Birokrasi Feodal Indonesia

Diktum sejarah menjelaskan, “masa kini adalah produk dari masa lampau”. Begitu pula dengan perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia. Dinamika birokrasi di Indonesia merupakan mata-rantai yang berkesinambungan. Selalu saja terdapat pengaruh jaman dalam proses terbentuknya birokrasi baru. Namun, sisa-sisa dari birokrasi masa lalu selalu tercermin dalam birokrasi masa kini.

Akar budaya birokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh ideologi dan struktur perpolitikan penguasa pada setiap jaman, mulai dari jaman kerajaan-kerajaan, kolonial, pasca kemerdekaan, (Orde Lama), Orde Baru, dan reformasi.

Sejarawan Anhar Gonggong menjelaskan, kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem birokrasi yang sama yaitu birokrasi feodal. Antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata. “Karena itu, birokrasi dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan, dan struktur birokrasi menggantung dalam bentuk “jaringan vertikal” yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang kekuasaan. Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarki dan otoriter,” ujarnya.

Dalam sudut pandang sosial budaya, menurut Pengajar Departemen Antropologi FISIP UI, Achmad Fedyani Saifuddin, birokrasi seperti ini disebut birokrasi tradisional, yaitu pengorganisasian lokal pada masa lampau yang berbasis pada kekerabatan. Pengorganisasian semacam ini hingga kini masih dipertahankan, seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta, dan Solo. 

Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1511 Portugis masuk ke Indonesia, kemudian disusul oleh VOC Belanda pada tahun 1596 di Banten. Hubungan kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan Belanda pada mulanya mempunyai status yang sederajat. Namun pada abad ke-18 terjadi pergeseran, kedudukan kerajaan-kerajaan berada di bawah penguasa kolonial Belanda. Akibat dari pergeseran kekuasaan itu, terjadilah posisi aparatur birokrasi tradisional menjadi agen kolonial Belanda, yang bekerja untuk mengeksploitasi rakyat. Di satu pihak kelihatannya Belanda masih menghormati para bangsawan (birokrasi tradisional), namun di pihak lain birokrat tradisional hanyalah pelaksana di bawah pemerintah kolonial Belanda.

“Pada masa itu, para birokrat diberikan fasilitas dan jaminan hidup yang bagus. Sehingga mereka bekerja penuh kepada kolonial Belanda. Dapat diduga bahwa pada masa kolonial itulah birokrasi berjalan efektif untuk kepentingan pemerintah kolonial,” tandas Fedyani.

Hubungan birokrasi tadisional dengan pemerintah kolonial Belanda membawa akibat pertama, adanya perlawanan rakyat yang tertindas terhadap birokrasi tradisional (sebagai agen kolonial). Kedua, dikenalnya sistem kolonial yang berupa monopoli dan sistem ekonomi kapitalisme. Munculnya pengusaha-penguasa atau penguasa-pengusaha (tumbuh subur di jaman Orde Baru), merupakan kelanjutan dari pengaruh kolonial. 

Potret birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh politik praktis. Memasuki awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi objek dan alat politik. Menurut Fedyani, pemerintahan Sukarno pada era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, sistem kepartaian menggunakan multipartai. Partai politik (parpol) tampil sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Sehingga birokrasi menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh parpol. Meski demikian, birokrasi Orde Lama masih mewarisi birokrasi jaman kolonial. “Saya melihat birokrasi yang dipraktikan Sukarno mengadopsi pemerintahan Hindia Belanda. Sifatnya juga sama yaitu otoritarian,” jelasnya. 

Sistem kepartaian dengan multipartai ternyata menimbulkan gejolak politik. Untuk meredamnya, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Sistem pemerintahan pun mengalami perubahan ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Anhar mengungkapkan, perubahan itu tidak menghasilkan perubahan mendasar kecuali perubahan peta kekuatan politik. “Pergeseran politik saat itu ditandai tiga konteks: pertama, peranan parpol mulai termarjinalkan. Kedua, menonjolnya figur Presiden Sukarno sebagai “patron kekuasaan”. Ketiga, masuknya kekuatan militer secara resmi ke pentas politik,” terang Anhar.

Penyebab marjinalisasi parpol dalam era Orde Lama tidak terlepas dari sentimen Sukarno dan militer. Stigma negatif terhadap parpol sebagai biang instabilitas (isu yang dipertajam oleh rezim Orde Baru yang lahir kemudian) merupakan senjata ampuh dalam proses penyingkiran parpol. Kecuali PKI saat itu satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Sukarno. Namun, dalam realitasnya justru yang terjadi adalah pergulatan politik Segi Tiga (Soekarno, PKI, dan militer). Puncak konflik politik yang terjadi pada masa Orde Lama adalah meletusnya pemberontakan G-30-S PKI pada tahun 1965.

Peralihan ke era Orde Baru (1966-1998) ditandai dua hal, pertama, kekuatan politik berubah dari pertarungan antarparpol dan politisi sipil ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Kedua, proses marjinalisasi parpol secara umum yang terus berjalan seiring dengan tampilnya unsur kekuatan militer yang kian memantapkan posisi sebagai aktor sentral. 

Kelahiran Orde Baru merupakan buah kemenangan militer dengan politik representasinya yang terpusat pada sosok Jenderal Soeharto. Hal ini yang menjadi penyebab militer di masa Orde Baru dengan jalan terbuka lebar berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif untuk membungkam setiap gerakan kritis mahasiswa maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 

Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik Presiden Soeharto. Mirip rezim kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional atau kalangan pangreh praja yang diintegrasikan ke dalam struktur kolonialisme. Demikian pula dengan korps pegawai negeri juga diintegrasikan sebagai mesin politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim Orde Baru. 
Tindakan institusionalisasi itu dimulai lewat Korps Karyawan Pemerintah Dalam Negeri di awal Orde Baru, dan berikut disempurnakan dengan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) lewat Kepres No. 82/1972. Menurut Anhar, Melalui jalan itulah, aparat birokrasi secara massif dimobilisasi untuk kepentingan politik rezim, termasuk sebagai pendukung kekuatan politik “kuda troya” (Golkar, red) sekaligus sebagai basis konstituen aktual di setiap pemilihan umum (pemilu) yang hanya bertujuan melanggengkan status quo rezim. 

Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralisasi politik birokrasi. Masalahnya, berbagai langkah reformasi birokrasi pasca Orde Baru tersebut terganjal faktor real politics. Tampaknya birokrasi tetap juga sulit untuk melepaskan diri dari belenggu politik praktis. 

Memasuki era reformasi, ada dorongan untuk membangun suatu birokrasi baru yang demokratis dan modern. Menurut Fedyani, birokrasi modern adalah unsur budaya asing yang “diimpor”, sehingga proses penyesuaian dengan kondisi sifat dasar masyarakat kita yang berakar tradisional dan majemuk mengalami kesulitan. Di samping itu, penerapan birokrasi modern berhadapan dengan ketidaksiapan masyarakat karena tidak mendapatkan pendidikan politik mengenai birokrasi pemerintahan yang baik.
Fedyani menambahkan, percampuran antara budaya birokrasi tradisional yang masih melekat dengan budaya birokrasi moderen disebut “percampuran gamang”. “Istilah-istilah seperti efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan modern, yang merupakan istilah birokrasi modern, belum operasional betul di dalam masyarakat kita. Padahal di pihak lain birokrasi modern adalah tuntutan bagi masyarakat modern,” ungkap Fedyani.

“Percampuran gamang” tersebut mengakibatkan budaya, lingkungan, dan struktur birokrasi tetap mencerminkan birokrasi jaman pendahulunya, yaitu birokrasi tradisional. Tika Bisono, Psikolog menjelaskan, role model birokrasi yang dikembangkan hingga saat ini adalah sistem kerajaan. “Titah pemimpin adalah raja, masyarakat adalah abdi. Konsep itu filosofinya the king can do no wrong (raja tidak pernah melakukan kesalahan, red), tidak bisa dikritik,” tegas Managing Director Tibis Sinergi ini. Ia mengkhawatirkan, jika nilai itu terus dikembangkan maka bangsa ini akan kerdil dalam percaturan dunia. 

Istilah budaya birokrasi jaman kerajaan yang dimaksud saat ini berupa kesanggupan seorang Raja (atasan) untuk menyediakan atau memberikan kursi, jabatan, serta pekerjaan bagi abdinya (bawahannya) dengan imbal-jasa bawahan harus memberikan loyalitas serta dedikasinya pada pemberi jabatan atau pekerjaan, melalui bentuk-bentuk upeti, amplop, maupun “kesenangan”.

Sistem birokrasi seperti itu semakin memperburuk birokrasi kita. Sistem sosio-politik yang tengah beroperasi di Indonesia bukan sistem yang demokratis, melainkan sistem kekuasaan yang hanya dimiliki oleh oligarki pejabat tinggi yang dapat menentukan nasib seorang bawahan (elite capture). Kemudian, sistem sosio-ekonomi yang juga tengah berlangsung adalah sistem yang penuh akan kolusi-nepotisme dengan memanfaatkan uang (money-talk) serta korupsi (money-politics). Tika menceritakan pengalamannya, “saya punya teman orang Jerman, dia baru tinggal satu tahun di Indonesia. Tatapi, dia sudah tahu nilai-nilai yang berkembang dalam birokrasi kita, yaitu ‘kamu kenal siapa?’ dan ‘kamu bisa kasih apa?”.

Birokrasi ibarat dua sisi mata uang. Walaupun dalam banyak hal sering menimbulkan masalah, akan tetapi menjadi institusi modern yang sulit ditolak keberadaannya, karena birokrasi juga solusi. Kapan birokrasi menjadi solusi? Menurut Tika, ketika birokrasi dapat memberikan nilai-nilai berupa kearifan, kebijaksanaan, pengayoman, pelayanan, dan pendampingan. 

Majalah FIGUR Edisi XVIII/Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar