Minggu, 30 Oktober 2011

PERTENTANGAN POLITIK SOEKARNO-HATTA

Sebuah Kajian Budaya* 
Oleh: Indriyanto**



Pendahuluan 
Dalam sejarah pergerakan nasional dan  kontemporer Indonesia, peranan para 
tokoh sejarah memegang kunci bagi kemerdekaan Indonesia. Sejarah para tokoh dan 
organisasi serta tujuannya banyak menghiasi perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa lalu 
mereka menjadi penganjur terwujudnya cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan rakyat. 
Mereka banyak terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan konflik politik yang 
terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Setelah Indonesia merdeka, mereka 
dihadapkan pada persoalan bagaimana mempraktekkan apa yang dicita-citakan dalam 
mewujudkan kedaulatan rakyat. Di antara  mereka yang menarik untuk dibahas adalah 
Soekarno-Hatta, karena keduanya berhasil  menjadi pimpinan puncak ketika Indonesia 
merdeka hingga mereka kemudian “berpisah” secara baik-baik karena keyakinan politik 
yang berbeda. 
Akhirnya, tingkah laku politik kedua tokoh ini kemudian banyak menjadi kajian 
berbagai ilmu. Namun demikian, seruncing  apapun konflik tersebut, ternyata tidak 
memunculkan bentuk-bentuk perilaku politik yang cenderung anarki di antara keduanya. 
Mereka selalu menunjukkan persatuan dan kekompakan dalam hubungan sosial maupun 
kekeluargaan. Hal ini ditunjukkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hingga akhir hayat 
mereka. Satu hal yang patut kita renungkan adalah bagaimana kita menyikapi tingkah 
laku sebuah pertentangan politik tanpa harus meninggalkan demokrasi dan hukum. 
Adakah konflik politik antara Soekarno dan Hatta yang bisa diambil sebagai pelajaran? 
Sebenarnya banyak teori dan pendekatan yang mencoba menganalisis tentang 
tingkah laku politik dalam kaitannya dengan moral, etika, budaya, maupun norma politik. 
Namun yang lebih penting dalam praktek politik, adalah aplikasi norma politik dalam 
kehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa  yang dituju oleh norma politik adalah 
masyarakat, baik sebagai penguasa atau pemerintah dan warga masyarakat itu sendiri. 
Sementara tingkah laku politik menyangkut dua  sisi, yaitu sisi ideal yang berasal dari 
pikiran dan perasaan manusia, dan sisi lingkungan tempat manusia hidup. 
Perjalanan politik kedua tokoh sejarah ini tidak bisa dilepaskan dengan pikiran, 
perasaan dan lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Pengaruh inilah yang kemudian 
memperlihatkan perbedaan pandangan dan tindakan mereka dalam praktek politik. 
Sementara itu, dalam proses berpolitik, orientasi berpikir, prioritas kepentingan dan citacita, serta kebijaksanan dari para pelaku politik semakin mengental menjadi kultur 
politik. (Apter, 1977) Sudah tentu, bahwa kultur politik yang menjadi background dari 
tingkah laku politik seseorang dalam aplikasinya berupaya untuk mencapai suatu cita-cita 
negara. Tingkah laku politik seseorang harus didasari oleh norma dan etika yang 
berfungsi sebagai moral politik dari para politisi. Oleh karena itu untuk mencapai suatu 
cita-cita negara, belumlah cukup bila para politisi hanya didukung oleh kesadaran etis 
saja, tetapi juga produk-produk peraturannnya harus dilandasi oleh moral. Dengan 
demikian, segala tindakan harus didukung oleh  perasaan kesusilaan bahwa hak negara 
dan politisi ada batasnya, ada hukum yang mengatur di dalamnya. Soekarno-Hatta dalam Kancah Perjuangan 
Kolonialisme Belanda di Indonesia,  telah berurat dan berakar menguasai 
kehidupan bangsa Indonesia. Dominasi politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial, 
dan penetrasi budaya, adalah  wujud nyata dari kolonialisme. Perjuangan pergerakan 
Indonesia yang dimulai sejak awal abad  XX, semakin lama semakin menunjukkan 
kegigihannya. Organisasi, taktik, dan strategi berjuang yang lebih modern menjadi ciri 
pergerakan bangsa Indonesia pada saat itu. 
Setelah Perang Dunia I, semakin banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di 
Belanda dan mereka terlibat dalam pergerakan Indonesia, yaitu Indisch Vereeniging 
tahun 1908 yang kemudian setelah tahun 1925 menggunakan nama Perhimpunan 
Indonesia (PI) serta menerbitkan majalah “Indonesia Merdeka” yang dipelopori oleh 
Hatta. PI mencoba menyadarkan teman-teman seperjuangan tentang komitmen sebagai 
bangsa yang bersatu dan merdeka, menghapus gambaran orang Belanda tentang 
Indonesia, dan mengembangkan ideologi yang bebas dari pembatasanpembatasan 
khususnya komunisme. (Ingleson, 1988) Itulah ideologi nasionalis PI yang didalamnya 
mempunyai unsur kesatuan nasional yang  bertujuan untuk mencapai kemerdekaan 
Indonesia; unsur solidaritas untuk mempertajam konflik dengan penjajah; unsur 
nonkooperasi yang jadi dasar bahwa kemerdekaan harus direbut; dan unsur swadaya yang 
mendasari kepercayaan atas kekuatan sendiri. Skema perjuangan Hatta dan kawan-kawan 
dapat digambarkan sebagai berikut: 
Pada tahun 1932, Hatta menjadi ketua PNI-baru. Organisasi ini pada tahun 1933 
sudah mempunyai 65 cabang, dan kegiatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka terus 
dilakukan. Ketika PPPKI dibentuk, Hatta tidak setuju dan PNI-Baru nya juga tidak jadi 
anggota “persatuan” itu. Ia bersikap kritis atas “persatuan” itu dan menyebutnya sebagai 
“persatean”. Atas kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan tersebut, menyebabkan 
pemerintah kolonial menangkapnya tahun 1934. (Pringgodigdo, 1984) 
Sementara itu, Soekarno yang lulus ELS tahun 1921, sejak masa mudanya dekat 
dengan tokoh HOS Cokroaminoto. Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai 
karier politik yang sesungguhnya pada tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun 
kemudian berhasil mendirikan PPPKI tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan 
dia selalu memikirkan rakyat dalam objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai 
pemikiran yang anti elitisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan 
soal-soal ekonomi dan lebih suka berpikir sosial demokrat. Tahun 1930, Soekarno 
ditangkap karena ucapan-ucapannya yang keras terhadap pemerintah kolonial. 
(Onghokham dalam Abdullah, 1978: 20) Dalam usaha untuk mencapai Indonesia 
merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada para pemimpin organisasi pergerakan, 
hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih dulu dalam suatu organisasi rakyat 
umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut 
Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika 
bangsa Indonesia tidak mempunyai persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan 
menjadi bola permainan negeri-negeri yang berperang saja. 
Buah pemikiran Soekarno yang sangat  dikenal adalah faham Marhaenisme. 
Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai  suatu ideologi kerakyatan yang mencitacitakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah 
sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme dengan 
kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme menolak setiap tindakan 
borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang 
mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi 
timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan 
demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang  berperikemanusiaan 
atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama. 
Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi  yang menuju kepada kesejahteraan sosial, 
kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa. (Hananto.2005: 38-41; 
Pataniari, 2002, 116) 
Soekarno juga yakin, bahwa untuk menentang kolonialisme dan imperialisme 
serta.mewujudkan persatuan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah dengan 
menyatukan tiga.aliran paham besar yang ada di masyarakat Indonesia, yaitu 
nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Ketiga gelombang besar ini bisa bersatu untuk 
melawan kolonialisme (Soekarno, 1964). Nasionalisme menekankan pentingnya batasbatas dan kepentingan nasional, agama (Islam) pada dasarnya bersifal universal, menolak 
batas-batas nasionalisme dan materialisme ala Marx. Namun demikian ketiganya 
memiliki tujuan yang sama. Melihat situasi demikian, Soekarno merasa tertantang dan 
yakin bahwa persatuan diantara ketiganya  akan menghasilkan kemerdekaan Indonesia. 
Inti dari persatuan adalah saling memberi dan menerima. Persatuan tidak akan terjalin 
jika masing-masing pihak tidak memahami kedua unsur tersebut. Selain itu, BK juga 
menyarankan untuk menempuh jalan non-kooperasi, yakni menolak bekerja sama dengan 
pemerintah kolonial (Wardaya, 2006:38-42). 
Pertentangan Soekarno-Hatta 
Benih-benih perbedaan pemikiran antara Soekarno-Hatta mulai tampak antara 
tahun 1930an, ketika mereka berpolemik tentang cara mencapai cita-cita bangsa, 
sosialisme, nasionalisme, kiprah dalam organisasi politik, dan  lain-lain. Meskipun 
demikian, perbedaan dan pertentangan politik antara Soekarno-Hatta tidak sampai 
menjadikan mereka saling berbuat anarki.  Justru pada masa Jepang dan menjelang 
kemerdekaan mereka lebih bahu-membahu dalam mempersiapkan kemerdekaan 
Indonesia. 
Bagi Hatta, sikap nonkooperasi harus bersifat kompromis, artinya harus melihat 
realitas politik yang ada. Namun bagi Soekarno, nonkooperasi harus lebih radikal dan 
berseberangan dengan pihak penjajah. Soekarno mengistilahkan dengan kaum “sana” dan 
kaun “sini” untuk membedakan antara penjajah dengan rakyat terjajah. Pertentangan ini 
terus berlanjut ketika Soekarno berusaha menyatukan Partindo dan PNI Baru. Mereka 
berbeda tentang asas perjuangan. Hatta berpendapat bahwa perjuangan kemerdekaan 
membutuhkan waktu bertahun-tahun karena rakyat harus dididik dulu ke arah itu. Akan 
tetapi bagi Soekarno, kemerdekaan akan tercapai bila tercipta pembentukan kekuatan dan 
pemakaian kekuatan rakyat. Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending. 
Mencerdaskan rakyat saat itu memang akan terhindar dari penjara, tetapi juga terhindar 
dari kemerdekaan. Sementara perbedaan tentang cara melawan kapitalisme, juga terlihat 
di antara keduanya. Soekarno memandang perjuangan melawan melawan kapitalisme 
merupakan perjuangan nasional dan perjuangan kebangsaan dengan kekuatan utama kaum marhaen, sedangkan Hatta berpendapat bahwa yang dilakukan Soekarno adalah 
perjuangan ras, padahal yang dibutuhkan adalah perjuangan klas. (Alam, 2003: 44-75) 
Soekarno lebih tertarik untuk menggerakkan massa daripada membentuk kader 
partai sebagaimana yang diinginkan Hatta.  Kalaupun suatu pergerakan akan menjadi 
kekuatan sejati untuk melawan  kolonial, maka hal itu bisa terjadi melalui pendidikan 
massa rakyat dan latihan suatu elit yang  tidak hanya membakar semangat rakyat, 
melainkan memberikan pencerahan kepada mereka. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan 
antara Partindo dan PNI lama. Dengan alasan lama, mereka pun tetap menganut paham 
non-kooperasi karena hanya suatu pergerakan yang mengandalkan kekuatan dan 
kemampuan sendiri sajalah yang dapat mencapai kemerdekaan. 
Di kalangan mereka, kritik Hatta itu dianggap sebagai campur tangan yang 
kasar dalam pergerakan. Pandangan yang sama dianut oleh kelompok Hatta. Perbedaan 
antara kedua golongan itu hanyalah menyangkut cara perjuangan yang harus dilakukan, 
apakah dengan agitasi atau pendidikan terhadap rakyat. (Dahm, 1987: 158-161) 
Pertentangan Soekarno-Hatta ini terus  berlanjut sampai kedatangan Jepang. 
Pada jaman Pendudukan Jepang mereka bisa menyatu sebagai dwi-tunggal sampai tahun 
1950an. Pertentangan mulai terjadi lagi ketika Soekarno berusaha comeback sebagai 
pimpinan eksekutif dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Pada akhir tahun 1957, terjadi 
pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda oleh kalangan komunis. 
Pengambilalihan ini menimbulkan banyak kecaman, terutama dari Hatta yang 
menyebutnya sebagai tidakan bodoh dan tidak  bijaksana. Pengambilalihan ini hampir 
mengakibatkan ambruknya perekonomian di Indonesia, terutama di bidang perdagangan. 
Sementara itu, muncul rasa ketidakpuasan masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah 
hingga akhirnya muncul ketegangan antara pusat dengan daerah luar Jawa. Kabinet yang 
dibentuk pemerintah tidak menyertakan Masyumi, padahal Masyumi merupakan prtai 
yang memiliki banyak pendukung di luar Jawa. Selain itu, tuntutan akan otonomi daerah 
yang digulirkan oleh daerah ternyata tidak mendapat perhatian yang serius dari 
pemerintah pusat. Ketika terjadi krisis  daerah tersebut, peranan Dwi Tunggal sangat 
diharapkan untuk menyelesaikannya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya yaitu pecahnya 
BK dan Hatta. Pada akhir 1957 Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai Wakil 
Presiden RI. Hal itu menunjukkan bahwa ia tidak bersedia mengikuti jalan yang sudah 
digariskan oleh BK. 
Tinjauan Budaya terhadap Pertentangan Soekarno-Hatta 
Sebenarnya, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1950-an, 
kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dikelola dengan berhasil. Prestasi ini 
disimbolisasikan oleh keberadaan Dwitunggal Soekarna-Hatta, yang bukan sekedar 
merupakan jaminan simbolis, akan tetapi  dalam batas tertentu bahkan riil, bahwa 
penduduk luar Jawa telah menjadi mitra dengan posisi yang sejajar bagi orang-orang 
Jawa yang mendominasi penyelenggaraan kekuasaan politik di Indonesia. Seorang 
Indonesianis melukiskan keadaan ini dengan mengatakan bahwa Soekarno sebagai 
mistikus Jawa dan eklektikus kawakan dan Hatta sebagai puritan Sumatera telah saling 
melengkapi tidak hanya secara politis melainkan juga secara primordial. Dwitunggal juga 
merepresentasikan persekutuan antara Soekarno yang mewakili sinkretisme Jawa dan 
Hatta yang mewakili merkantilisme Islam dari luar Jawa (Geertz, 1992: 104). Sayangnya, menjelang pertengahan  kedua tahun 1950-an hubungan antara 
Soekarno dan Hatta yang semula harmonis  mulai diwarnai ketegangan yang terus 
meningkat dan sulit diperdamaikan, sehingga Hatta kemudian memutuskan untuk 
meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden pada akhir 1957. Pertentangan antara 
Soekarno dan Hatta menarik untuk dijelaskan, sebab dengan melihat posisi simbolis 
Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Presiden mempunyai implikasi yang 
tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia  pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta 
dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap 
legitimasi pemerintah pusat. Selain itu, sejak Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai 
menjadi satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia, 
keseimbangan politis terganggu, dan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah 
pusat.
[1]
Setiap pemegang kekuasaan tentu akan menggunakan kekuasaan untuk 
mengatur Negara dan dan rakyat baik secara politis maupun sosial. Seperti dikatakan 
Flechteim, “social power is the sum total of those capacity, relationships, and processes 
by which compliance of others is secured...for ends determined by the power holder” ( 
Iver, 1961: 87). Kekuasaan politik pada dasarnya merupakan bagian dari kekuasaan 
sosial yang fokusnya ditujukan kepada  negara sebagai satu-satunya pihak yang 
mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial, termasuk dengan 
menggunakan kekerasan. 
Meskipun demikian, kekuasaan perlu dibatasi dengan etika politik. Etika Politik 
menjadi dasar moral bagi politik karena  harus memperhatikan pada peran demokrasi 
dalam memberi legitimasi pada penguasa  politik. (Shapiro, 2003: 203) Etika politik 
adalah gerabang penjaga bagi bangunan cita-cita perjuangan kebangsaan dan kenegaraan. 
(Baasir, 2003: xxxvii) Etika mempunyai peran yang signifikan dalam mengeliminasi 
konflik dalam berbagai kehidupan. 
Kendati demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke 
dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi 
juga hubungan kultural baik sebagai keseluruhan atau pada  bagian-bagian tertentu.[2] 
Dua alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, seperti telah 
disampaikan di muka, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi 
juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, 
sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme. Unsur-unsur 
kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan sikapsikap emosional mengenai cara-cara menjalankan pemerintahan. Oleh karenanya, 
kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap sebagai ekspresi untuk menunjukkan 
lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat sistem politik itu berjalan. Tindakan 
politik ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti tradisi, ingatan sejarah, motif, 
norma, emosi, dan simbol (Kavanangh, 1983: 4-5) 
Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang 
terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society). Istilah masyarakat 
majemuk telah digunakan oleh Furnivall untuk menggambarkan situasi sosial di Burma 
dan Jawa pada masa kolonial. Di kedua tempat itu orang-orang bumiputera, imigran Cina 
dan India, dan orang-orang Eropa hidup bersama, tetapi kehidupan mereka tidak 
menyatu. Di Burma, seperti juga di Jawa, suatu pemandangan yang paling menarik bagi 
seorang pengunjung adalah adanya berbagai jenis manusia.... Mereka bercampur, tetapi 
tidak bersatu. Setiap golongan mengikuti agama, budaya, bahasa, pandangan hidup, dan 
norma masing-masing. Sebagai individu mereka  berjumpa, tetapi ini hanya terjadi di 
pasar ketika mereka berjual beli. Ini merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai 
golongan masyarakat yang hidup berdampingan namun terpisah, di bawah satu kesatuan 
politik yang sama. Di dalam sektor ekonomi pun terjadi pembagian tenaga kerja menurut 
garis-garis etnik... (Furnivall, 1984: 304). 
Pada satu sisi kemajemukan dapat menghasilkan daya dorong ke arah kemajuan. 
Namun pada sisi yang lain kemajemukan dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang 
mengarah pada terjadinya konflik. Pergeseran-pergeseran dalam hubungan antara 
Soekarno dan Hatta dapat digunakan untuk menunjukkan potensi ganda pluralisme, baik 
sebagai kekuatan pembentuk integrasi nasional maupun pemicu perpecahan. Masyarakat 
majemuk ditandai oleh adanya pembelahan sosial yang berakar pada perbedaan etnisitas, 
ras, agama, dan geografis (Liddle, 1970: 4-5), atau yang oleh Geertz (1992: 82) disebut 
sebagai sentimen primordial (primordial sentiment).[3] Pada masa Orde Lama sentimen 
primordial terekspresikan di dalam ‘aliran’ (ideological  stream) yang bersumber dari 
keyakinan agama dan nilai-nilai kultural. Aliran menciptakan ketergantungan dan 
loyalitas massa terhadap pemimpin-pemimpin mereka dalam suatu pola hubungan 
patron-klien (Antlöv and Cederroth, 1994: 5).[4] 
Berdasarkan hal ini, maka bagi  para pendukungnya, baik Soekarno maupun 
Hatta dapat dilihat sebagai patron. ‘Persekutuan’ yang berhasil antara Soekarno dan Hatta 
dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengakomodasikan 
motivasi para pengikutnya untuk membangun negara baru. Masyarakat di negara baru 
selalu diliputi oleh motivasi yang sangat kuat untuk membangun identitas yang 
mengantarkan mereka untuk mendapatkan pengakuan umum sebagai pihak yang turut 
bertanggung jawab dan mempunyai kontribusi yang berharga terhadap negara. Mereka 
juga dilekati oleh semangat untuk membangun negara modern yang efisien dan dinamis. 
Semangat ini mempunyai tujuan lebih luas yang bersifat praktis, antara lain adalah 
pencapaian kemajuan, peningkatan taraf hidup,  penciptaan tatanan politis yang efektif, 
pembentukan keadilan sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran yang 
dianggap penting dalam panggung politik. Hubungan harmonis yang diperlihatkan oleh 
dwitunggal sebelum Hatta menyatakan pengunduran diri dari jabatan Wakil Presiden 
menunjukkan bahwa Soekarno yang merepresentasikan Jawa masih dapat berjalan seiring 
dengan Hatta yang merepresentasikan luar Jawa. 
Menurut Fachry Ali (1987) praktik politik kekuasaan dalam Indonesia modern 
pada dasarnya merefleksikan pemikiran tentang kekuasaan dalam tradisi Jawa. Dalam 
pandangan orang Jawa tradisional, kekuasaan dilihat sebagai sebagai “something 
concrete, homogeneous, constant in total quantity, and without inherent moral 
implication as such” (Anderson, 1981: 8). Meskipun kelas atas dalam masyarakat Jawa 
tradisional didefinisikan secara struktural, mereka juga dilekati oleh nilai-nilai etis dan 
mode perilaku yang berkaitan erat dengan fungsi tradisional kelas atas. Merujuk Geertz 
(1981), perbedaan antara kelas  atas dan orang kebanyakan adalah pada karakter halus 
(Jawa: alus) yang menjadi inti etis priyayi. 
Kehalusan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai diri, 
berpenampilan ‘cantik’ dan elegan, berperilaku bijaksana, dan sensitif. ‘Alus’ diperoleh melalui usaha yang terus menerus untuk mengolah ‘rasa’ dan menguasai pemusatan 
‘energi putih’. Dalam pemikiran Jawa tradisional, alus merupakan salah satu tanda 
kekuasaan, sebab kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan energi dan seseorang 
yang ‘halus’ akan ditempatkan pada status dan kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih 
dekat dengat pusat kekuasaan (Anderson, 981: 39 dan 42). Ini berarti bahwa sebelum 
pertentangan dengan Hatta mencuat ke permukaan, Soekarno berhasil menampilkan 
dirinya sebagai priyayi. 
Kendati demikian, negara baru selalu rentan terhadap rasa tidak suka yang 
serius yang bersumber dari sentimen primordial. Masalah primordialisme adalah masalah 
utama republik ini. (Onghokham, 1985:5) Ikatan-ikatan primordial sesungguhnya 
merupakan patologi dalam praktik kehidupan berpolitik di negara-negara modern. 
Sebabnya adalah sentimen primordial hanya menghasilkan integrasi yang semu dengan 
mengandalkan rasa setia kawan (fellow feeling) yang tidak stabil. Ambedkar (dikutip 
Geertz, 1992: 181) berpendapat bahwa rasa setia kawan ini memang mampu melembaga 
dan membuat mereka yang diliputinya merasa sebagai kawan dan atau kerabat, dan ini 
merupakan modal yang berharga bagi sebuah negara yang stabil dan demokratis. Namun 
sentimen ini selalu bersegi ganda. Di  satu sisi ia dapat menjadi kekuatan yang 
menyatupadukan dan sekaligus melampaui segala perbedaan, namun pada pihak lain juga 
menciptakan sekat antara seseorang atau sekelompok orang dari dari mereka yang 
dianggap berbeda, ‘bukan kawan dan bukan kerabat’. Hal itu cukup jelas tercermin dari 
perbedaan-perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta. 
Sebenarnya primordial bisa diubah menjadi demokrasi pluralistis, dengan segala 
aspeknya seperti adanya otoritas primordial, keharusan berkompromi, adanya koalisi 
yang bertanggungjawab dan ideologi yang inklusif, bukan eksklusif. Hal ini akan 
mendasari kultur politik, yang terbentuk tawar menawar. (Apter, 1977: 492) Akan tetapi, 
meskipun pertentangan itu telah mendapatkan bentuknya yang paling akhir berupa 
terpecahnya dwitunggal, Soekarno masih tetap berlaku sebagai seorang yang memegang 
etis priyayi yang menjunjung tinggi keselarasan atau harmoni sosial. Kehidupan bersama 
diidealkan berlangsung secara tenang dan penuh kerukunan. 
Usaha untuk mencapai tujuan itu melibatkan dua prinsip, yaitu rukun dan 
hormat. Prinsip rukun mendorong orang Jawa dalam setiap situasi berusaha menyatakan 
sikap dengan cara sedemikian rupa, sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip 
ini bersumber dari pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional sebagai nilai 
tertinggi dan didasarkan pada kewajiban  moral untk mengendalikan hasrat hati dan 
menjaganya agar tak terlepas dari kesadaran, sehingga tidak menimbulkan tanggapan 
emosional yang berlawanan dari orang lain. Sementara prinsip hormat membuat orang 
Jawa dalam berbicara dan menampilkan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap 
orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Geertz, 1961: 146). Kedua prinsip 
tersebut merupakan kerangka normatif  yang menentukan bentuk-bentuk konkret 
hubungan social yang diusahakan terjadi  dalam keselarasan, ketenangan, dan 
ketenteraman, tanpa perselisihan, bersatu dalam maksud saling  membantu, sekaligus 
berlangsung teratur secara hirarkis sehingga para pelakunya dipaksa untuk 
mempertahankan dan membawa diri sesuai  dengan posisi sosialnya (Magnis-Suseno, 
1991: 38-39). Dengan kata lain, masyarakat Jawa adalah “masyarakat krama” yang 
menampilkan diri sebagai orang-orang yang sadar unggah-ungguh. Itulah sebabnya, Soekarno tetap memperlihatkan sikap respek pada Hatta biarpun mereka saling berbeda 
pendapat. 
Daftar Pustaka 
Ali, Fachry. 1987. Refleksi Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: 
Gramedia. 
Anderson, Benedict R. O’G.. 1981. “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam 
Claire Holt, ed.. Culture and Politic in Indonesia. Ithaca and London. Cornell 
Univerity Press. 
Antlöv, Hans and Sven Cederroth. 1994. “Introduciton”, dalam Hans Antlöv and Sven 
Cederroth (ed.). Leadership on Java:  Gentle Hints, Authoritarian Rule. 
Richmond. Curzon Press Ltd. 
Antlöv, Hans. 2003. Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Terjemahan 
Pujo Semedi. Yogyakarta. Lappera Pustaka Utama. 
Baasir, Faisal. 2003. Etika Politik Pandangan  Seorang Politisi Muslim. Jakarta. Sinar 
Harapan 
Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES. 
Furnivall. 1984. Colonial Policy and Practise. London. Cambridge University Press. 
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri,dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan 
Aswab Mahasin. Jakarta. Pustaka Jaya. 
Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, terjemahan Francisco Budi Hardiman. 
Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 
Geertz, Hildred. 1961. The Javanesse Family: A Studi of Kinship and Socialization. The 
Free Press of Glencoe. 
Hananto, Yuli. 2005. Bermuka Dua; Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno beserta 
Keluarganya. Yogyakarta. Ombak. 
Kavanagh, Dennis. 1983. Pergeseran-pergeseran Politik dalam Masyarakat. Bandung. 
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. 
Terjemahan Samuel Gunawan. Jakarta. Penerbit Erlangga. 
Liddle, William R.. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case 
Study. New Heaven. Yale Universiy Press. 
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan 
Hidup Jawa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 
Mc Iver, Robert. 1961. The Web of Government. New York. The MacMillan Company. 
Mulder, Niels. 1992. “The Ideology of Javanese-Indonesian Leadership”, dalam Hans 
Antlöv and Sven Cederroth (ed.). Leadership on Java: Gentle Hints, 
Authoritarian Rule. Richmond. Curzon Press Ltd. 
Onghokham, “Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma No. 8, Tahun XIV, 
1985. 
Pataniari S. 2002. Api Perjuangan Rakyat.  Jakarta: LKEP Lembaga Kajian Ekonomi 
Politik. 
Shapiro, Ian. 2006. Asas Moral dalam Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian 
Massal 65 hingga G 30 S. Yogyakarta. Galangpress. 
------------------------------------ * Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi “Pertentangan SukarnoHatta: Etika Politik dalam Perspektif  Sejarah dan Hukum”  Himpunan Mahasiswa 
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNDIP, Semarang 15 Maret 2007. 
** Drs. Indriyanto, S.H.,M.Hum.,dosen Jurusan Sejarah Fak.Sastra UNDIP 
[1]Gejala serupa ini juga dapat ditelusuri melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Pada 
umumnya orang meyakini bahwa Pemilu 1955 merupakan contoh Pemilu paling 
demokratis sepanjang sejarah Indonesia sampai dengan akhir kekuasaan rezim Orde 
Baru. Namun pada sisi yang lain Pemilu pada tahun itu sesungguhnya juga telah 
memperlihatkan adanya kenyataan bahwa sejumlah unit kekuasaan yang penting dalam 
masyarakat Indonesia seperti antara lain  angkatan bersenjata, komunitas keturunan 
Tionghoa, dan pengusaha ekspor-impor dari luar Jawa tidak cukup terwakili secara 
memadai dalam sistem politik yang berlaku ketika itu. Di samping itu, dalam Pemilu 
1955 juga mulai muncul gejala terjadinya pergeseran pusat kekuasaan politik dari 
Dwitunggal Soekarno-Hatta ke partaipartai.  
[2]Kultur dapat dipahami sebagai jaringan makna yang digunakan oleh manusia untuk 
menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan mereka sebagai mode of human 
being in the world. Hasil atau wujud dari tindakan manusia tersebut adalah jaringan 
hubungan sosial yang secara umum disebut sebagai masyarakat atau struktur sosial. 
Kultur dan struktur sosial,  dengan demikian merupakan abstraksi yang berbeda dari 
realitas yang sama (Geertz, 1957: 33-34). Dengan cara yang berbeda, Victor Turner 
menggambarkan hubungan antara kultur dan struktur seperti hubungan antara partitur 
musik dengan orkestra. Partitur adalah  kultur yang berisi sistem kode yang penuh 
makna dan berfungsi memandu penampilan pemain-pemain orkestra. Sementara 
orkestra yang terdiri atas pemainpemain  dengan peranan yang berbeda-beda, tetapi 
tersusun sebagai suatu sistem yang harmonis, adalah struktur social (dikutip Keesing, 
1989: 75-76). Dalam definisi ini kebudayaan berfungsi untuk mengatur atau 
mengendalikan kehidupan masyarakat agar berjalan secara harmonis. 
[3]Geertz menyebut integrasi nasional dengan istilah revolusi integratif, yaitu 
berhimpunnya berbagai kelompok primordial-tradisional ke dalam unit 
kemasyarakatan yang lebih besar dan bersifat menyebar. Berbagai kelompok itu 
sebelumnya berdiri sendiri dan kemudian harus memiliki suatu kerangka acuan dalam 
lingkup ‘bangsa’ di bawah perlindungan suatu pemerintahan baru. Dalam hal ini, 
Indonesia adalah sebuah identitas baru yang menyatukan berbagai kelompok 
primordial-tradisional yang terbentuk berdasarkan ikatan kekerabatan, bahasa, daerah, 
agama, dan adat-istiadat. Selain primordial sentiment, penghalang revolusi integratif 
yang tak kalah penting adalah civil politics yang menunjuk  pada usaha untuk 
menempatkan peranan militer di bawah kendali penguasa sipil (Geertz, 1992: 82-84, 
dan 105). 
[4]Pasca 1965, atau sejak lahirnya Orde Baru, terjadi perubahan yang mendasar. Era 
aliran berakhir dan berganti dengan era baru melalui pemberlakuan ideologi tunggal 
Pancasila. Hubungan antara negara dan rakyat tidak lagi dibangun berdasarkan 
loyalitas menurut aliran-aliran, tetapi  terjadi secara langsung, karena negara 
menghadirkan dirinya dalam kehidupan masyarakat lokal sampai ke tingkat desa 
melalui wakil-wakilnya dan melalui berbagai kebijakan pembangunan (Antlöv, 2003). 
Hubungan antara rakyat dan negara diorientasikan pada penyatuan politik dan moral, yang dikonsepsikan sebagai ‘kepentingan bersama’ yang dapat dicapai melalui cara 
‘kekeluargaan’ (Mulder, 1992: 58). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar