Jumat, 07 Oktober 2011

Karakter bangsa indonesia menurut sejarah

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo & Pemberontakan di Banten

Jumat 7 Desember 2007 pukul 00.40, Sejarawan dan Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aloysius Sartono Kartodirdjo meninggal dalam usia 86 tahun di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Indonesia pun kembali berduka. Setelah kepergian sejarawan Ong Hok Ham, kembali kehilangan putra terbaiknya. 

Semasa hidupnya, Prof. Sartono mendedikasikan diri menggeluti sejarah Indonesia. Kehadirannya telah memberikan secercah perubahan dalam kancah intelektual sejarah Indonesia. Ia adalah wakil generasi baru guru sejarah Indonesia yang menerapkan metode penelitian modern pada lapangan studi sejarah. Ia dikenal sebagai perintis mazhab historiografi “sejarah lokal”, “sejarah dari dalam”, dan tinjauan “sejarah dari disiplin ilmu sosial”. 

Pemberontakan Petani Banten 1888
Menurut Prof. Sartono, bangsa Indonesia sebelum perang sebenarnnya memiliki etos nasionalime berupa rela berkorban. Salah satu contohnya adalah Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888 atau sering juga disebut dengan Geger Cilegon 1888. Peristiwa bersejarah itu menjadi bahan disertasinya: The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia yang memperoleh cum laude dari Universitas Amsterdam, Belanda tahun 1966. Studi ini menjadi referensi gerakan sosial dan petani di Indonesia. 

Menurutnya penulisan disertasi bertemakan gerakan sosial─dalam hal ini dilakukan oleh para petani yang dipimpin oleh Kyai Wasid dan Jaro Kajuruan─didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosentris. Menurut M. Nursam, Sejarawan dan Penulis Buku Biografi Sartono Kartodirdjo, upaya yang dilakukan Prof. Sartono melalui social scientific approanch telah memberikan cahaya terang dan arah historiografi Indonesiasentris. Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Prof. Sartono justru menjadi aktor sejarah. 

Pemberontakan Di Banten 
Banten memiliki sejarah pemberontakan yang panjang. Semenjak Kesultanan Banten sebagai pemegang otoritas politik dihapuskan oleh Willems Daendels, tercatat ada empat kali pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Pertama, pada 1850 dipimpin oleh H. Wakhia. Kedua, pada 1888 yang dilakukan oleh (mayoritas) para petani di bawah komando H. Wasid dan Jaro Kajuruan─unsur jawara─. Ketiga, pada 13 November 1926di Menes, Kabupaten Pandeglang. Pemberontakan itu terjadi pukul satu malam, sekitar empatratus orang bersenjata bedil dan kelewang, sebagian besar mengenakan pakaian putih menyerbu kediaman Wedana Raden Partadiningrat. Keempat, terjadi pada 1945. Pemberontakan ini lebih merupakan pertanda kebebasan dari cengkraman kolonialisme. 

Dari sekian pemberontakan, ada satu pemberontakan yang cukup menggelitik, yaitu pemberontakan pada 13 November 1926. Pemberontakan ini dipimpin oleh tokoh Muslim-Komunis K.H. Achmad Chatib. Michael C. Williams dalam disertasi doktor menyebutnya sebagai pemberontakan komunis. Ini hal yang unik, bagaimana bisa pekikan Allahhu Akbarberkumandang di dalam sebuah pemberontakan komunis, sebuah ideologi yang dikenal anti-Tuhan. 

Ini adalah paradoks yang nyata. Ketika timbul pendapat bahwa tidak satu pun agama yang memendam resistensi mendalam terhadap komunisme selain Islam, sejarah membuktikan bahwa di Indonesia pendapat itu tidak selamanya benar. Sejarah itu telah mementahkan pernyataan JC. Bedding, pensiunan Residen Banten yang menulis surat untuk Gubernur Jenderal pada bulan Maret 1925, “Rakyat Banten sangat religius dan konservatif, sehingga komunisme tidak akan pernah berkembang di sini.“ 

Sejarah pemberontakan 1926 menjadi keunikan tersendiri. Peristiwa serupa juga terjadi di Silungkang (Sumatera Barat). Kedua daerah yang dikenal konservatif dan ortodok terhadap ajaran Islam, justru menjadi pusat perlawanan yang paling gigih dalam menentang kolonialisme. 

Prinsip Kebangsaan 
Bagi Prof. Sartono, dalam pembangunan bangsa, seorang sejarawan memiliki peranan penting dalam merekonstruksi sejarah nasional sebagai lambang identitas nasional. Prof. Sartono menawarkan lima prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak dapat ditawar jika sebuah bangsa ingin mencapai kondisi yang relatif mapan. Kelima prinsip itu adalah unity (persatuan dan kesatuan), liberty (kemerdekaan dan kebebasan), equality(persamaan hak), personality (identitas dan kebudayaan), dan performance (prestasi atau etos bangsa). 

Pemberontakan Petani Banten 1888─serta pemberontakan (atau lebih tepatnya perjuangan) rakyat di seluruh nusantara─adalah wujud amalan dari prinsip kebangsaan. 

Oleh karena itu, sebagai generasi yang hidup di alam kemerdekaan, sudah sepantasnya kita mengamalkan prinsip kebangsaan tersebut dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah karena sejarah adalah cara kehidupan berpetuah kepada kita. Melupakan sejarah berarti menampik petuah kehidupan dan menutup pintu bagi masa depan. 
Kita memang telah kehilangan begawan sejarah Indonesia. Kepergiannya begitu menyengat, di tengah-tengah minimnya apresiasi bangsa ini terhadap sejarah─jika memang peduli tidak mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menarik buku-buku sejarah (serupa dengan peristiwa orde baru)─. Tetapi kita harus yakin, meskipun Prof. Sartono telah tiada, pemikiran-pemikirannya tidak akan pernah lekang dan akan terus menyala menerangi perjalanan sejarah Indonesia. 

Sebagai insan yang hidup dari tiap bongkahan sejarah, saya ucapkan, selamat jalan Prof. Sartono ke pangkuan-Nya dengan damai!


Model kepahlawanan di Indonesia diartikan sebagai kemenangan secara fisik, karena perjalanan sejarah merebut kemerdekaan dilakukan dengan perjuangan dan peperangan.

Model tersebut berpengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat di kemudian hari. Akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa pahlawan adalah orang-orang yang berjuang secara fisik. Hal itu semakin kuat ketika dilegalkan dalam bentuk Undang-Undang No. 33 Tahun 1964, yang menyebutkan bahwa pahlawan adalah warga negara Republik Indonesia yang gugur, tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa. Meskipun demikian, pahlawan bisa juga mereka yang masih hidup, yang tindak kepahlawanannya tidak ternoda sepanjang hidupnya. Namun, realitanya hanya mereka yang telah meninggal saja yang diakui resmi sebagai pahlawan.
Kalangan seniman menilai definisi tersebut terlalu konservatif dan tidak faktual. Sehingga perlu aktualisasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan sekarang. Mereka beranggapan bahwa pahlawan itu tanpa batas dan ukuran, siapapun bisa jadi pahlawan. Bahkan konkretnya bisa sangat sederhana dan dalam ruang lingkup yang kecil sekalipun pahlawan bisa hadir.

“Pahlawan adalah orang yang mau mengorbankan sedikit waktu atau sepenuhnya untuk kepentingan orang lain. Pahlawan bisa saja dalam batasan sekitar kampung, rumah atau kantor. Misalnya masuk kantor tepat waktu, tidak korupsi meski di kanan dan kirinya koruptor, menurut saya itu pahlawan. Arti pahlawan bisa kecil dan bisa besar. Kalau istri saya yang ngomong, pasti saya pahlawannya. Kalau pak Lurah, pasti ukuran kelurahan,” kata Slamet Rahardjo Djarot, chairman Teater Populer Foundation.

Komposer kenamaan, pemilik sekolah musik Al Farabi, Dwiki Dharmawan berpendapat, “Pahlawan menurut saya dengan segala kapasitas dan kemampuannya adalah seseorang yang berbuat dan bermanfaat bagi orang banyak. Bukan mementingkan diri sendiri, bukan sukses sendiri. Sehingga orang banyak mengalami suatu perubahan atau dorongan positif sehingga ada perbaikan. Minimal lingkungan sekitarnya, misalnya RT.”

Sementara itu, ilustrasi menarik tentang kepahlawanan diceritakan aktor senior sekaligus sutradara film, Dedy Mizwar yang akrab disapa Pak Haji, lewat garapan film Naga Bonar Jadi II yang hobi sepakbola, “Jangan kau bermimpi jadi pahlawan dalam mencetak gol ke gawang lawan! sebab kau penjaga gawang! Jaga saja baik-baik gawangmu jangan sampai kemasukkan bola, kau sudah sangat berjasa. Sedangkan kalau kau penyerang, seranglah lawanmu terus sampai kakimu putus! Tapi, kalau temanmu di belakang minta tolong maka kau bantulah.”

Dalam perkembangan berikutnya, bangsa ini ternyata hanya menilai kepahlawanan dari sesuatu yang riil dan dapat diukur seperti fisik, data-data, popularitas dan massa. Sementara kepahlawanan model sosial lebih sulit untuk punya ukuran yang baku sehingga tidak mendapat perlakuan yang sama. Kemenangan tim olimpiade fisika Indonesia merupakan contohnya, dimana sebelum menjadi pemenang jarang sekali mendapat perhatian, tapi setelah menjadi juara responnya langsung tinggi, itu pun atas dorongan dunia sains internasional. Ini membuktikan bahwa negara tidak menghormati dan menghargai budaya proses, kerja keras, dan pengorbanan. Yang bangsa ini lihat hanya out put atau hasil akhir saja, sehingga model-model kepahlawanan tidak berkembang dan beragam.

“Dalam bulutangkis misalnya ketika kita tidak bisa mencapai gelar juara hanya juara 2 pasti akan dikritik habis. Yayuk Basuki mampu menjadi 40 besar dunia seharusnya diapreciatepositif. Karena tugas menjadi peringkat 1 dunia bukan tugasnya kembali tetapi tugas penerusnya, dia sudah layak menjadi pahlawan dengan membuka jalan bagi juniornya. Artinya, pahlawan yang diberi penghargaan jangan hanya yang menonjol saja sehingga tidak merata. Mana penghargaan pemerintah terhadap guru-guru yang mengajarkan baca-tulis di pedalaman, yang membuka jalan untuk keluar dari kebodohan? Hal ini menjadi penting karena bagian terkecil dari bangsa inilah yang menentukan nilai-nilai kepahlawanan dengan model-modelnya,” ujar ketua Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Garin Nugroho.

“Bangsa ini telah mematikan model-model kepahlawanannya sendiri. Hal ini terbukti karena seluruh model-model kepahlawanan yang layak dijadikan acuan justru setelah berhasil di luar negeri, artinya bangsa lain lebih dulu dan lebih menghargai hasil karya para model tersebut. Definisi pahlawan bagi bangsa ini adalah kemenangan bersifat fisik, materi, populer, dan didukung massa,” tambahnya.

Tidak akan ada pertumbuhan ekonomi dan sosial dari suatu bangsa tanpa ada nilai kepahlawanan di dalam masyarakatnya dalam berbagai bentuk modelnya. Karena kepahlawanan memiliki suatu impian, dorongan atau motivasi, ada cara atau jalan untuk mencapai tujuannya, ada contoh atau sampel yang dapat ditiru atau inspirasi, dan menjadi suatu cita-cita yang ingin diwujudkan. Hal ini menjadi dorongan yang besar di dalam masyarakat, sehingga bangsa tersebut akan berkembang.

Yang menjadi penyebab utama model kepahlawanan “kekuatan fisik” masih menghuni pola pikir masyarakat adalah tidak terjadi transformasi nilai-nilai kepahlawanan dari kekuatan fisik (militer, red) ke bentuk profesionalisme. “Memang dilematik, karena transformasi nilai-nilai kepahlawanan dari militer ke dalam bentuk profesionalisme tidak terjadi, dikarenakan tidak adanya character building di bangsa ini. Tidak terjadi penghormatan terhadap prestasi dan terhadap proses. Ini menyebabkan transformasi nilai-nilai kepahlawanan ke model-model kepahlawanan yang lain tidak berkembang, seperti kepahlawanan sosial, religius, ekonomi, bidang disiplin ilmu tertentu seperti penemu, kepahlawanan terhadap kreativitas, dan sebagainya,” ujar Garin.

Agar bangsa ini tidak kehilangan nilai-nilai kepahlawanan, maka perlu diupayakan sebuah solusi konkret yang cocok dengan situasi dan kondisi kehidupan saat ini. Sebuah metode yang bisa diapresiasi oleh khalayak, khususnya generasi muda bangsa, yaitu dengan memanfaatkan media populer yang paling digandrungi masyarakat, televisi, karena televisi memiliki kekuatan dahsyat dalam proses sosialisasi nilai-nilai kepahlawanan. Namun, sayang televisi sekarang lebih mengejar rating dan keuntungan semata. Keprihatinan itu dilontarkan Garin, “Televisi sekarang masih melihat segala sesuatunya dari popularitas dan materi. Apakah dapat meningkatkan rating atau oplah dan sebagainya. Tidak ada tanggungjawab sebagai sarana membangun bangsa secara keseluruhan. Hal ini mengkhawatirkan karena media merupakan cerminan dari kehidupan suatu bangsa.”

Hal senada juga diamini oleh Dwiki Dharmawan, “Industri populer saat ini telah merusak tatanan nilai-nilai kepahlawanan. Jadi, menurut saya TV itu racun dan tamu yang tak diundang. Oleh karena itu, pemerintah berperan penting dalam menyelamatkan generasi bangsa. Upaya konkret yang bisa diupayakan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kepahlawanan yaitu melalui media televisi dengan menyiapkan channel khusus yang ngetrend, yang mau dilirik anak muda. Atau bisa juga bekerja sama dengan TV-TV swasta.”

“Yang harus dilakukan saat ini adalah memperkuat keteladanan dari pahlawan pada generasi muda, tidak hanya melalui pendidikan formal di sekolah tapi dari sudut entertainment yang membuat mereka bisa education and leasure, yaitu melalui visualisasi kepahlwanan. Seperti membuat seri film animasi tentang Patimura, Sisingamangaraja, Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Pangeran Hasanuddin, dan Jenderal Sudirman,” imbuhnya konkret.

Sementara itu, Garin mengusulkan perlunya sebuah organisasi yang mau dan mampu berkonsentrasi dalam kepahlawanan. “Melalui sistem pendidikan berbangsa secara utuh, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi diberikan nilai-nilai kepahlawanan yang beragam. Pemerintah membangun organisasi-organisasi yang memiliki kemampuan reward terhadap proses-proses kepahlawanan.

Majalah FIGUR Edisi VII/November 2007



cuplikan dalam
hendrifisnaeni.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar