Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada Sarasehan DPD GOLKAR Tk. I Jawa Timur
Surabaya, 14 Maret 1997
I. Pendahuluan
Sesuai dengan tujuan mata kuliah ini yaitu, untuk membahas konsep-konsep pembangunan
yang bertumpu pada masyarakat sebagai jembatan antara pembangunan mikro dan makro, maka pada
kesempatan ini bahasan pokok yang akan disampaikan adalah tentang pemberdayaan masyarakat.
Konsep pemberdayaaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community
development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development)
Pertama-tama perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna keberdayaan dan
pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu
yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta
inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.
Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga
menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang
khas pada masyarakat kita, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang
memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamis
mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa
yang di dalam wawasan politik pada tingkat nasional kita sebut ketahanan nasional.
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain m e m b e rdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat.
Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, dari sudut
pandang kita pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung arti menegakkan demokrasi
ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harafiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, di mana
kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini
menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam
sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan,
maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan
yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai
birokrasi. Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya mampu menjabarkan dan melaksanakan
rumusan-rumusan kebijaksanaan publik (public policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang dikehendaki. Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah pelaku utama
pembangunan, sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing,
serta menciptakan iklim yang menunjang. Selanjutnya berturut-turut akan dibahas tujuan pembangunan, konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks perkembangan paradigma
pembangunan, pendekatan, aspek kelembagaan beserta mekanismenya serta strategi dalam mewujudkannya. Bahasan ini akan ditutup dengan kajian beberapa kasus sebagai ilustrasi.
*
Makalah ini diangkat dari bahan kuliah pada Program Pascasarjana Studi Pembangunan, Institut
Teknologi Bandung (ITB), yaitu mata kuliah Pembangunan yang Bertumpu pada Masyarakat (SP 607). www.ginandjar.com 2
II. Tujuan Pembangunan
GBHN 1993 menegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional dalam PJP II adalah
membangun bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera. Untuk mencapainya, pertama-tama kita
harus memajukan perekonomian seiring dengan kualitas sumber daya manusia. Taraf kemajuan
perekonomian dapat diukur dari berbagai indikator, antara lain PDB dan PDB per kapita. Keseimbangan komposisi dalam struktur perekonomian mencerminkan pula kemajuan perekonomian.
Perekonomian yang maju seringkali diartikan dengan perekonomian yang tidak terlalu bergantung
pada sektor primer, dalam hal ini pertanian dan pertambangan. Perekonomian yang maju lebih
didominasi oleh peranan sektor industri manufaktur dan jasa. Keseimbangan struktur ekonomi juga
harus tercermin dalam penyerapan tenaga kerja. Umumnya komposisi tenaga kerja menurut sektor
mengikuti keadaan struktur ekonominya. Kemajuan ekonomi juga dapat dicerminkan dari tingkat
ketergantungan sumber daya pembangunan di mana ketergantungan pada sumber daya pembangunan
dari luar negeri makin mengecil. Di samping semua hal tersebut, perekonomian yang maju juga
ditandai dengan makin membaiknya distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan ini mencakup
distribusi pendapatan antardaerah, antargolongan dan antara kota dan desa.
Tujuan pembangunan nasional yang kedua adalah membangun bangsa yang mandiri.
Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai suatu bangsa sehingga bangsa itu dapat
membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berlandaskan kekuatannya sendiri. Ini berarti
untuk membangun bangsa yang mandiri dibutuhkan perekonomian yang mapan. Kemandirian juga
tercermin pada kemampuan bangsa untuk memenuhi sendiri kebutuhan yang paling pokok.
Tujuan yang ketiga adalah membentuk masyarakat yang sejahtera. Masyarakat yang
sejahtera pada taraf awal pembangunan adalah suatu masyarakat yang kebutuhan pokoknya
terpenuhi. Kebutuhan pokok itu mencakup pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Namun hal itu saja tidak cukup, karena masyarakat yang sejahtera harus pula berkeadilan. Dengan
makin majunya taraf kehidupan masyarakat, maka masyarakat yang sejahtera akan menikmati
kemajuan hidup secara berkeadilan. Keseluruhan upaya itu harus membangun kemampuan dan
kesempatan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan sehingga masyarakat bukan hanya
sebagai objek tetapi juga subjek pembangunan. Upaya membangun kemajuan, kemandirian dan
kesejahteraan itu harus dicapai pula dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
III. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks Perkembangan Paradigma
Pembangunan.
1 . Ko n s e p-konsep Pembangunan
Sebelum kita membahas hal-hal pokok mengenai konsep pemberdayaan, ada baiknya kita
tinjau terlebih dahulu konsep pembangunan yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dalam arti yang luas.
Pembangunan menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan
sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui
peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep
mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi.
Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke-18.
Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu melakukan
pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skala
ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan
mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith
muncul pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas -batas pertumbuhan (limits to growth)
antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).www.ginandjar.com 3
Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang
teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation) dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital).
Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model
pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini
berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam
mendorong pertumbuhan jangka panjang.
Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok,
yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh
secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang
merupakan sumber inves tasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin
tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.
Berbeda dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan kepada pentingnya peranan
modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan kepada peranan
jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis.
Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja
yang lebih banyak tanpa harus menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat
diperoleh oleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini
mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neoklasik. Teori
pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam
pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap
sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi
dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen,
yang berarti kesenjangan akan berkurang.
Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan
tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa inves tasi
sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut
Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan
pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan
berbagai studi empiris, antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976).
Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun
melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor
endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber
pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam
perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan
inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional,
penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan aktivitas R & D.
Mengenai peran perdagangan dalam pertumbuhan, Nurkse (1953) menunjukkan bahwa
perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang
termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia
Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembangan
industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan
permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negara yang tersebut di atas. Dengan demikian,
pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional. www.ginandjar.com 4
Kemudian kita lihat bahwa kemajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber
alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong
oleh perdagangan inter nasional.
Dalam kelompok teori pertumbuhan ini ada pandangan yang penting yang dianut oleh
banyak pemikir pembangunan, yaitu teori mengenai tahapan pertumbuhan. Dua di antaranya yang
penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari
negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau
tahap pembangunan yang dilalui oleh semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui
oleh suatu negara dalam proses pembangunannya; yaitu tahap Traditional Society, Preconditions for
Growth, The Take-off, The Drive to Maturity, dan The Age of High Mass Consumption. Menurut
pemikiran H.B. Chenery dan M. Syrquin (1975), yang merupakan pengembangan pemikiran dari
Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi
(konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian
menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.
Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan terutama di bidang
ekonomi memang mengalir makin deras ke arah manusia (dan dalam konteks plural ke arah
masyarakat atau rakyat) sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan
(subjek dan objek sekaligus).
Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil
pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Namun,
pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa (1940-1970) menunjukkan bahwa yang terjadi
adalah rakyat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati cucuran hasil pembangunan seperti yang
diharapkan itu. Bahkan di banyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini
disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat
yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain
karena posisinya yang menguntungkan (privileged), sehingga akan memperoleh semua atau sebagian
besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin
bahkan dapat menjadi lebih miskin.
Cara pandang di atas mendominasi pemikiran-pemikiran pembangunan (mainstream
economics) dekade 50-an dan 60-an dengan ciri utamanya bahwa pembangunan adalah suatu upaya
terencana untuk mengejar pertumbuhan ekonomi agregat. Dan, harus pula disadari bahwa pemikiran
semacam ini masih banyak pengikut dan pendukungnya sampai saat ini walaupun bukti-bukti empiris
dan uji teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak pernah terwujud khususnya di
negara-negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap
paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan. Maka berkembang
kelompok pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang tujuannya adalah
untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan.
Salah satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan
terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian
pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size distribution of income) dapat diukur dengan
menggunakan kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain distribusi pendapatan, dampak dan hasil
pembangunan juga dapat diukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara.
Berbeda dengan distribusi pendapatan yang menggunakan konsep relatif, analisis mengenai tingkat
kemiskinan menggunakan konsep absolut atau kemiskinan absolut.
Meskipun pembangunan harus berkeadilan, disadari bahwa pertumbuhan tetap penting.
Upaya untuk memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang
jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan
pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan
berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenery, et.al., 1974).
Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga www.ginandjar.com 5
produsen yang berpendapatan rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan produsen
kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan secara simultan
menerima sumber ekonomi yang diperlukan.
Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam
pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic human needs (BHN)
(Streeten et al., 1981). Strategi BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasar bagi
masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar,
dan perumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuan yang sama, keduanya berbeda dalam
hal kebijaksanaan yang diambil. RWG menekankan pada peningkatan produktivitas dan daya beli
masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public services disertai jaminan
kepada masyarakat miskin agar dapat memperoleh pelayanan tersebut.
Masalah pengangguran juga makin mendapat perhatian dalam rangka pembangunan
ekonomi yang menghendaki adanya pemerataan. Todaro (1985) mengemukakan bahwa terdapat
kaitan yang erat antara pengangguran, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Pada umumnya
mereka yang tidak dapat memperoleh pekerjaan secara teratur adalah mereka yang termasuk dalam
kelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperoleh pekerjaan secara terus -menerus adalah
mereka yang berpendapatan menengah dan tinggi. Dengan demikian, meme cahkan masalah
pengangguran dapat memecahkan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Beberapa ahli
berpendapat pula bahwa pemerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja
(Seers, 1970). Menurut teori ini barang-barang yang dikonsumsikan oleh masyarakat miskin
cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibandingkan dengan konsumsi masyarakat yang
berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, pemerataan pendapatan akan menyebabkan
pergeseran pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja.
Dalam rangka perkembangan teori ekonomi politik dan pembangunan perlu dicatat pula
bahwa aspek ideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang berkembang. Salah
satu di antaranya adalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutama berdasarkan keadaan
pembangunan di Amerika Latin pada tahun 1950-an.
Ciri utama dari teori ini adalah bahwa analisisnya didasarkan pada adanya interaksi antara
struktur internal dan eksternal dalam suatu sistem. Menurut teori ini (Baran, 1957), keterbelakangan
negara-negara Amerika Latin terjadi pada saat masyarakat prakapitalis tergabung ke dalam sistem
ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan
menjadi daerah "pinggiran" (periphery) negara metropolitan yang kapitalis. Daerah (negara)
pinggiran dijadikan "daerah-daerah jajahan" negara-negara metropolitan. Mereka hanya berfungsi
sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan industri daerah (negara) metropolitan tersebut, dan
sebaliknya merupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan industri-industri di
negara-negara metropolitan tersebut. Dengan demikian, timbul struktur ketergantungan yang
merupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi serta merintangi pula pembangunan yang
mandiri.
Patut dicatat adanya dua aliran dalam teori ketergantungan, yaitu aliran Marxis dan
Neo-Marxis, serta aliran non-Marxis. Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangka analisis
dari teori Marxis tentang imperialisme. Aliran ini tidak membedakan secara tajam mana yang
termasuk struktur internal ataupun struktur eksternal, karena kedua struktur tersebut, dipandang
sebagai faktor yang berasal dari sistem kapitalis dunia itu sendiri. Selain itu, aliran ini mengambil
perspektif perjuangan kelas internasional antara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihak dan
kaum buruh di lain pihak. Untuk memperbaiki nasib buruh, maka perlu mengambil prakarsa dengan
menumbangkan kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, resep pembangunan untuk
daerah pinggiran adalah revolusi (Frank, 1967). Sedangkan aliran kedua, melihat masalah
ketergantungan dari perspektif nasional atau regional. Menurut aliran ini struktur dan kondisi internal
pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal dari sistem itu sendiri, meskipun struktur internal
ini pada masa lampau atau sekarang dipengaruhi oleh faktor-faktor luar negeri (lihat misalnya Dos
Santos dan Bernstein, 1969; Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982). Oleh karena
itu, subjek yang perlu dibangun adalah "bangsa" atau "rakyat" dalam suatu negara (nation building). www.ginandjar.com 6
Dalam menghadapi tantangan pembangunan maka konsep negara atau bangsa ini perlu dijadikan
landasan untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan.
Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan tujuan-tujuan
sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi
pembicaraan pula dalam kajian-kajian pembangunan (antara lain lihat Bauzon, 1992). Goulet, (1977)
yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya, mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang
berakar dari bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan
(3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat.
Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan kearah pembangunan
yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat.
Era pascaindustri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era
industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan pertumbuhan dan
kesejahteraan manusia, keadilan dan kelestarian pembangunan itu sendiri (Korten, 1984). Logika
yang dominan dari paradigma ini adalah suatu ekologi manusia yang seimbang, dengan
sumber-sumber daya utama berupa sumber -sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak
habis-habisnya, dan yang tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai
perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada
individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan
sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang
berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.
Paradigma yang terakhir, yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial
dan berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahas terdahulu, adalah paradigma pembangunan manusia.
Menurut pendekatan ini, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu
lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan
berumur panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk
meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa
kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya.
Pengalaman- pengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan
(wealth) hanya merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya sendiri.
Menurut pandangan ini tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan
manusia (Ul Haq, 1985). Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan
manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua,
penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk
aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut
sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan
produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4)
pemberdayaan manusia.
Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP, yang mengembangkan Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini merupakan indikator komposit/
gabungan yang terdiri dari 3 ukuran, yaitu kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai
ukuran knowledge) dan tingkat pendapatan riil (sebagai ukuran living standards).
Masih dalam taraf pengembangan sekarang muncul pula gagasan pembangunan yang
berkelanjutan yang erat kaitannya dengan kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi
ke generasi -- jaminan pemerataan pembangunan antargenerasi --. Dalam konsep ini pemakaian dan
hasil penggunaan sumber daya alam dan lingkungan yang merusak sumbernya tidak dihitung sebagai
konstribusi terhadap pertumbuhan tetapi sebagai pengurangan aseet. Penting kita perhatikan hal ini,
karena bangsa yang kaya hari ini, bisa menjadi paling miskin di hari kemudian, seperti bangsa Mesir,
Palestina, dan India.www.ginandjar.com 7
Demikianlah, berbagai aliran pemikiran dalam studi pembangunan, yang berkembang
selama ini. Meskipun belum memuaskan beberapa pihak, konsep pembangunan manusia dapat
dianggap paling lengkap dan dikatakan sebagai sudah merupakan sintesa dari pendekatan-pendekatan
sebelumnya.
Sebenarnya pandangan serupa ini telah kita mulai sejak awal pembangunan. Oleh karena itu,
sejak GBHN Pertama dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I), kita telah merumuskan
bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat
seluruhnya. Sejak Repelita II, kita telah menegaskan strategi pembangunan yang bertumpu pada
Trilogi Pembangunan, yang memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, sebagai
kunci-kunci keberhasilan pembangunan. Program pemerataan dalam rangka Trilogi ini dalam PJP I
kita jabarkan dalam delapan jalur pemerataan.
2 . Masalah Kesenjangan
Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun telah banyak hasil dicapai dalam PJP I, masalah
kesenjangan secara mendasar belum dapat kita pecahkan. Satu dari setiap tujuh orang Indonesia
miskin sekali. Dari Sensus Penduduk tahun 1990 diketahui 3,2 persen angkatan kerja menganggur,
sekitar 36,6 persen dari jumlah penduduk yang bekerja, bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau
setengah menganggur, dan lebih dari 77 persen pekerja hanya berpendidikan sampai Sekolah Dasar.
Lebih dari 97 persen unit usaha pada tahun 1992 beromzet kurang dari Rp 50 juta per tahun. Satu
di antara dua (51,6 persen) rumah tangga petani adalah petani gurem, yang menguasai lahan
pertanian kurang dari setengah hektar. Jumlah petani gurem ini bukannya berkurang, tetapi bahkan
bertambah. Rakyat di daerah perdesaan dan di kawasan-kawasan tertinggal seperti di banyak bagian
kawasan timur Indonesia dan juga di beberapa bagian kawasan barat, hidup di dunia lain, yang sangat
terbelakang dan sangat jauh dari kehidupan modern.
Dari sisi distribusi pendapatan masyarakat yang diukur dengan pengeluaran konsumsi rumah
tangga, nampak bahwa tingkat pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi meningkat lebih cepat
dibanding kenaikan pendapatan kelompok penduduk berpendapatan rendah. Data susenas
menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk 40
persen penduduk terendah pendapatannya perbulan dalam periode 1984-1993 adalah 3,8 persen per
tahun, sedangkan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga secara nasional selama kurun waktu
yang sama meningkat 4,8 persen pertahun.
Lebih lanjut data sistem neraca sosial ekonomi (SNSE) tahun 1980 dan 1990 menunjukkan
tidak terjadi pergeseran yang berarti dalam persentase jumlah penduduk golongan atas dan golongan
bawah. Persentase jumlah penduduk golongan atas tetap sekitar 42 persen dan jumlah penduduk
golongan bawah sekitar 58 persen.
Apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk miskin, dengan garis
kemiskinan berdasarkan pengeluaran rata-rata per kapita per bulan sekitar Rp 13.300 di perdesaan
dan Rp 20.600 di perkotaan pada tahun 1990, maka terdapat jumlah penduduk miskin sebanyak 27,2
juta (15,1 persen). Pada tahun 1993 dengan garis kemiskinan per kapita per bulan sekitar Rp 18.250
di perdesaan dan Rp 27.900 di perkotaan, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 25,9 juta jiwa
(13,7 persen). Meskipun jumlah penduduk miskin terus menurun, namun masih cukup besar, karena
satu dari setiap tujuh orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di samping itu, laju
penurunannya semakin lambat, selama tiga tahun hanya terjadi penurunan sebanyak 1,3 juta, dan dari
segi persentase turunnya hanya 1,4 persen.
Dengan membandingkan angka-angka itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, pertama, jumlah
penduduk miskin berkurang; kedua, persentase penduduk golongan bawah dan golongan atas tidak
banyak berubah; dan ketiga, tingkat pendapatan golongan penduduk miskin meningkat tetapi
golongan penduduk berpendapatan tinggi naik lebih cepat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
meskipun pembangunan telah banyak menunjukkan keberhasilan, namun terdapat kesenjangan
pendapatan antargolongan penduduk yang dirasakan makin melebar. www.ginandjar.com 8
Masalah-masalah kesenjangan ini harus kita hadapi dalam PJP II. Padahal dalam PJP II kita
sudah memasuki jaman dunia baru, yang berbeda dengan yang kita kenal selama ini. Jaman baru ini
akan ditandai oleh keterbukaan dan persaingan, yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh golongan yang ekonominya lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali
kemungkinan makin melebarnya kesenjangan. Iwan Jaya Azis, misalnya, dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menunjukkan pula
kerisauannya bahwa perdagangan bebas tidak harus akan bermanfaat terhadap perbaikan distribusi
pendapatan (Azis, 1996). Padahal kita memikul tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat sebagai salah satu tujuan kita membuat negara yang merdeka.
Kalau UUD 1945 dibaca dengan baik, dipahami sejarah penyusunannya, serta dipelajari latar
belakang pemikiran para penyusunnya, jelas bahwa republik ini disusun berdasarkan semangat
kerakyatan. Dalam bidang ekonomi tegas diamanatkan Demokrasi Ekonomi.
Demokrasi Ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi.
Dengan lebih tegas lagi, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Atau dengan rumusan UUD 45: "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang". Kemajuan yang ingin diupayakan melalui
pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi, haruslah meningkatkan kemakmuran atas
dasar keadilan sosial, atau menurut kata-kata UUD 45: "kemakmuran bagi semua orang!"
Arah perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh konstitusi itu tidak dapat terjadi
dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak
otomatis menjamin bahwa pertumbuhan tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara
merata. Masalah utamanya, seperti telah ditunjukkan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam
kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses
pembangunan. Dengan proses pembangunan yang terus berlanjut, justru ketidakseimbangan itu dapat
makin membesar yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan.
Dalam upaya mengatasi tantangan itu diletakkan strategi pemberdayaan masyarakat.
Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada
akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat
harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,
dengan kata lain, memberdayakannya.
Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan
potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya.
Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan
menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum
termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat,
martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa
pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai
tambah sosial dan nilai tambah budaya. Jadi, partisipasi rakyat meningkatkan emansipasi rakyat.
3. Pemberdayaan Masyarakat: Memadukan pertum buhan dan pemerataan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat
"people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995).
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau
menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang
pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap
konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan
praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development,www.ginandjar.com 9
yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and
intergenerational equity”.
Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti
dikatakan oleh Donald Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai "incompatible or
antithetical". Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap "zero-sum game" dan "trade off".
Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk
pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti
dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), "the pattern of growth is just as important as the rate of
growth". Yang dicari adalah seperti dikatakan Ranis, "the right kind of growth", yakni bukan yang
vertikal menghasilkan "trickle-down", seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat
horizontal (horizontal flows), yakni "broadly based, employment intensive, and not
compartmentalized" (Ranis, 1995).
Hasil pengkajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International Fund for Agriculture
Development (IFAD) menunjukkan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasilkan masyarakat di
lapisan bawah telah memberikan sumbangan pada pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan
dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan itu
dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pula (Brown,
1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan
devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya.
Pengalaman Taiwan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan
beriringan. Taiwan adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah ditinjau
dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rationya 0,30, termasuk yang terendah di dunia), tetapi
dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi yang dapat dipeliharanya secara berkelanjutan (Brautigam,
1995). Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan
oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi.
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama
sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan
suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan
membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti
modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini
menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun
sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada
lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di
perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena
program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan
masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga
pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pulawww.ginandjar.com 10
pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta
peranan masyarakat di dalamnya.
Sungguh penting di sini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat
amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedman (1992)
menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development,
places the emphasis on autonomy in the decision-marking of territorially organized communities,
local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiential social
learning”.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan,
harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari
interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang,
serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity) . Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus
dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan
demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.
IV. Pendekatan, Metodologi dan Ukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat.
1 . Pendekatan-pendekatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai
suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat.
Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang
menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang
menghasilkan.
Teori-teori ekonomi makro, yang umumnya bersandar pada peran pasar dalam alokasi
sumber daya, serta dengan praanggapan bahwa kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat akan
menguntungkan semua lapisan masyarakat, dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawaban
yang memuaskan bagi masalah kesenjangan. Kekuatan sosial yang tidak berimbang, menyebabkan
kegagalan pasar untuk mewujudkan harapan itu (Brown, 1995). Oleh karena itu, diperlukan
intervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada tingkat makro mendukung upaya mengatasi
kesenjangan yang harus dilakukan dengan kegiatan yang bersifat mikro dan langsung ditujukan pada
lapisan masyarakat terbawah. Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi
konsep-konsep pembangunan makro dan mikro.
Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang
dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai
rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang
bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang
dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, prasarana, dan
sarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok.
Pertama, mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelolawww.ginandjar.com 11
(acceptable); kedua, dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan (accountable); ketiga, memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik
masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable); keempat, hasilnya dapat
dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga
sosial ekonomi setempat (sustainable); dan kelima, pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat
dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas
(replicable).
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan
objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri.
Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan
sebagai berikut:
Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ia
ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi
masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu
mempunyai beberapa tuju an, yakni supaya bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan
kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan,
mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri
masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga
lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Karena
itu seperti telah disinggung di muka, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan
dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha
antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-menerus di bina dan
dipelihara secara sating menguntungkan dan memajukan.
Selanjutnya untuk kepentingan analisis, pemberdayaan masyarakat harus dapat dilihat baik
dengan pendekatan komprehensif rasional maupun inkremental.
Dalam pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaan berjangka, serta
pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi yang ada secara nasional, yang
mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik
pemerintah maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan
individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Dengan demikian, programnya
harus bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan dampak
yang berarti.
Dengan pendekatan yang kedua, perubahan yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara
cepat dan bersamaan dalam derap yang sama. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap, langkah
demi langkah, mungkin kemajuan-kemajuan kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor dengan
sektor lainnya dapat berbeda percepatannya, demikian pula antara satu wilayah dengan wilayah lain,
atau suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Dalam pendekatan ini, maka desentralisasi dalam
pengambilan keputusan dan pelaksanaan teramat penting. Tingkat pengambilan keputusan haruslah
didekatkan sedekat mungkin kepada masyarakat.
Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh LSM adalah advokasi.
Pendekatan advokasi pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika Serikat
(Davidoff, 1965). Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem
hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan demikian,
pendekatan advokasi menekankan pada pendamping dan kelompok masyarakat dan membantu
mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku pembangunan lainnya, membantu merekawww.ginandjar.com 12
mengorganisasikan diri, menggalang dan memobilisasi sumber daya yang dapat dikuasai agar dapat
meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut.
Pendekatan advokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat
terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem nilai
sendiri-sendiri. Masyarakat pada dasarnya bersifat majemuk, di mana kekuasaan tidak terdistribusi
secara merata dan akses keberbagai sumber daya tidak sama (Catanese and Snyder, 1986).
Kemajemukan atau pluralisme inilah yang perlu dipahami. Menurut paham ini kegagalan pemerintah
sering terjadi karena memaksakan pemecahan masalah yang seragam kepada masyarakat yang
realitanya terdiri dari kelompok-kelompok yang beragam. Ketidakpedulian terhadap heterogenitas
masyarakat, mengakibatkan individu-individu tidak memiliki kemauan politik dan hanya segelintir
elit yang terlibat dalam proses pembangunan.
Dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan advokasi masyarakat mampu secara
sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses pembangunan, baik dalam kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi. Seringkali pendekatan advokasi diartikan pula
sebagai salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada masyarakat tentang hak dan
kewajibannya dalam proses pembangunan.
2 . Metodologi Evaluatif dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pemahaman tentang masalah pemberdayaan masyarakat memerlukan sikap subyektif dalam
penelitiannya. Subyektifitas ini bertolak dari sikap dasar, bahwa setiap penelitian tentang suatu
masalah sosial selalu dilakukan untuk memperbaiki situasi sosial yang ada, untuk meluruskan
ketimpangan yang ada. Dan, bukan hanya untuk sekedar melukiskan serta menerangkan kenyataan
yang ada (Buchori, 1993).
Tidak ada penelitian sosial yang akan dapat mendatangkan perbaikan terhadap kondisi sosial
yang ada selama para peneliti menempatkan diri mereka sebagai pakar yang berdiri di luar kenyataan
sosial yang diteliti, dan memperlakukan warga masyarakat yang sedang diteliti sebagai obyek yang
hanya menjalani kenyataan sosial yang ada secara pasif. Para peneliti harus menempatkan diri
mereka sebagai bagian dari masyarakat yang sedang diteliti dan memandang warga masyarakat yang
sedang diteliti sebagai subyek yang mempunyai hak moral untuk mengatur kehidupan mereka, serta
mempunyai keinginan dan kemampuan untuk berbuat demikian.
Dalam kerangka ini, menjadi kewajiban moral para peneliti untuk memahami aspirasi
masyarakat yang diteliti, dan mendampingi secara mental dan intelektual warga masyarakat yang
diteliti dalam usaha mereka untuk mendatangkan perbaikan yang mereka dambakan. Dengan
demikian, dalam penelitian semacam ini masalah penelitian tidak dapat dipisahkan dari masalah
evaluasi. Keputusan untuk meneliti suatu masyarakat dengan tujuan untuk mendatangkan perbaikan
ke dalam masyarakat itu, melalui antara lain pemberdayaan masyarakat, sudah merupakan suatu hasil
evaluasi.
Untuk melaksanakan evaluasi apakah proyek yang telah dilaksanakan selama jangka waktu
tertentu telah sungguh mendatangkan perbaikan yang sesuai dengan harapan warga masyarakat, perlu
dilakukan suatu penelitian. Dua metoda penelitian evaluatif yang bersifat bottom-up adalah rapid
rural appraisal (RRA), dan participatory rural appraisal (PRA).
a. Metoda Rapid Rural Appraisal (RRA)
Metoda RRA digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat dalam waktu yang
terbatas ketika keputusan tentang pembangunan perdesaan harus diambil segera. Dewasa ini banyak
program pembangunan yang dilaksanakan sebelum adanya kegiatan pengumpulan semua informasi
di daerah sasaran. Konsekuensinya, banyak program pembangunan yang gagal atau tidak dapat
diterima oleh kelompok sasaran meskipun program-program tersebut sudah direncanakan dan www.ginandjar.com 13
dipersiapkan secara matang, karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam penyusunan prioritas dan
pemecahan masalahnya.
Pada dasarnya, metoda RRA merupakan proses belajar yang intensif untuk memahami
kondisi perdesaan, dilakukan berulang-ulang, dan cepat. Untuk itu diperlukan cara kerja yang khas,
seperti tim kerja kecil yang bersifat multidisiplin, menggunakan sejumlah metode, cara, dan
pemilihan teknik yang khusus, untuk meningkatkan pengertian atau pemahaman terhadap kondisi
perdesaan. Cara kerja tersebut tersebut dipusatkan pada pemahaman pada tingkat komunitas lokal
yang digabungkan dengan pengetahuan ilmiah.
Komunikasi dan kerjasama diantara masyarakat desa dan aparat perencana dan pelaksana
pembangunan (development agent) adalah sangat penting, dalam kerangka untuk memahami
masalah-masalah di perdesaan. Di samping itu, metoda RRA juga berguna dalam memonitor
kecenderungan perubahan-perubahan di perdesaan untuk mengurangi ketidakpastian yang terjadi di
lapangan dan mengusulkan penyelesaian masalah yang memungkinkan.
Menurut James Beebe (1995), metoda RRA menyajikan pengamatan yang dipercepat yang
dilakukan oleh dua atau lebih pengamat atau peneliti, biasanya dengan latar belakang akademis yang
berbeda. Metoda ini bertujuan untuk menghasilkan pengamatan kualitatif bagi keperluan pembuat
keputusan untuk menentukan perlu tidaknya penelitian tambahan dalam merencanakan dan
melaksanakan kegiatan.
Metoda RRA memiliki tiga konsep dasar yaitu; (a) perspektif sistem, (b) triangulasi dari
pengumpulan data, dan (c) pengumpulan data dan analisis secara berulang-ulang (iterative).
b. Metoda Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsepsi dasar pandangan PRA adalah pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan
masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA bertujuan menjadikan warga masyarakat
sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek
pembangunan.
Kritik PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program pembangunan selalu
diturunkan "dari atas" (top down) dan masyarakat tinggal melaksanakan. Proses perencanaan
program tidak melalui suatu 'penjajagan kebutuhan' (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali
dilaksanakan hanya berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh
petugas atau lembaga ahli-ahli penelitian. Akibatnya program tersebut sering tidak relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan tidak adanya rasa memiliki terhadap program itu. Dengan PRA, yakni
dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga keterampilan-keterampilan analitis dan
perencanaan dapat dialihkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan
pada pihak luar akan berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari
aspirasi masyarakat (bottom up).
Metoda PRA didasarkan pada penyempurnaan dan modifikasi dari metoda AEA
(Agroecosystems Analysis) dan RRA (Rapid Rural Appraisal) yang dilakukan oleh kalangan LSM
dan peneliti yang bekerja di wilayah Asia dan Afrika. Walaupun ada beberapa kesamaan antara
metoda PRA dan RRA, tetapi ada perbedaan secara mendasar. Metoda RRA penekannya adalah
pada kecepatannya (rapid) dan penggalian informasi oleh Ăłrang luar. Sedangkan metoda PRA
penekannya adalah pada partisipasi dan pemberdayaan.
Menurut Robert Chambers (1987) PRA lebih cocok disebut sebagai metoda dan
pendekatan-pendekatan jamak daripada metoda dan pendekatan tunggal, dan PRA adalah menu yang
menyajikan daftar metoda dan teknik terbuka dan beragam.
Dengan penekanannya pada partisipasi, maka metoda PRA mempunyai prinsip-prinsip:
belajar dari masyarakat, orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku, saling belajar
dan saling berbagi pengalaman, keterlibatan semua kelompok masyarakat, bebas dan informal,
menghargai perbedaan dan triangulasi.www.ginandjar.com 14
Metoda PRA dibangun berdasarkan (a) kemampuan- kemampuan masyarakat desa setempat,
(b) penggunaan teknik-teknik fasilitatif dan partisipatoris, dan (c) pemberdayaan masyarakat desa
setempat dalam prosesnya (Khan and Suryanata, 1994).
Metoda PRA pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi 4 (empat) macam proses, yaitu:
(1) appraisal dan perencanaan secara partisipatoris,
(2) pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program secara partisipatoris,
(3) penyelidikan berbagai topik (seperti; manajemen sumber daya alam, keamanan pangan,
kesehatan, dan lain-lain),
(4) pelatihan dan orientasi untuk peneliti dan masyarakat desa.
Alat-alat yang digunakan dalam metoda PRA serupa dengan yang digunakan dalam metoda
RRA, tetapi berbeda dalam tingkat partisipasi dari masyarakat desa dalam praktik di lapangan. Tidak
seperti dalam RRA, masyarakat desa yang dilibatkan dalam PRA memainkan peran yang lebih besar
dalam pengumpulan informasi, analisis data dan pengembangan intervensi seperti pada
program-program pengembangan masyarakat yang didasarkan pada pengertian terhadap program
secara keseluruhan. Proses ini akan memberdayakan masyarakat dan memberi kesempatan kepada
mereka untuk melaksanakan kegiatan dalam memecahkan masalah mereka sendiri yang lebih baik
dibanding dengan melalui intervensi dari luar.
3 . Berbagai Ukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat.
Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan masyarakat telah berhasil, perlu ada
pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yang dapat diukur untuk dapat dibandingkan.
Pemberdayaan masyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi, karena sasaran
utamanya adalah memandirikan masyarakat, di mana peran ekonomi teramat penting. Cara
mengukurnya telah banyak berkembang, seperti yang antara lain telah disebut di atas indeks Gini,
jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan industri kecil, nilai
tukar pertanian, upah minimum dan sebagainya.
Pembangunan manusia yang berkualitas bukan hanya menyangkut aspek ekonominya, tetapi
juga sisi lainnya, yaitu pendidikan dan kesehatannya. Di bidang ini, juga telah banyak ukuran
dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta aksara, angka partisipasi sekolah untuk
SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, persentase
penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu juga sedang
dikembangkan oleh Bappenas bersama BPS semacam angka indeks kesejahteraan rakyat yang
menggabungkan indikator ekonomi, kesehatan, dan pendidikan ke dalam suatu angka indeks. Di
dunia internasional indeks kesejahteraan semacam ini telah dikembangkan oleh UNDP yang dikenal
dengan nama Human Development Index (HDI) seperti telah dikemukakan di atas.
Manusia juga harus mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi melalui pembangunan
spiritual, sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat
berakhlak. Terkait dengan itu adalah pembangunan budaya, yakni untuk menciptakan, di atas budaya
yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, sikap budaya kerja keras, disiplin, kreatif, ingin maju,
menghargai prestasi dan siap bersaing. Ukurannya tentu sangat relatif dan terutama bersifat
kualitatif.
Dalam pembangunan budaya perlu dikembangkan orientasi kepada ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pemberdayaan teknologi, merupakan jawaban yang berjangkauan jauh ke depan dan
berkesinambungan dalam membangun masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.
Pemberdayaan masyarakat harus pula berarti membangkitkan kesadaran dan kemampuan
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang secara
politik terisolasi bukanlah masyarakat yang berdaya, artinya tidak seluruh aspirasi dan potensinya
tersalurkan. Maka, aspek politik juga terdapat dalam pemberdayaan masyarakat. Salah satuwww.ginandjar.com 15
ukurannya, seperti indikator yang dikembangkan Dasgupta (1993), adalah hak berpolitik (mengikuti
pemilu) dan hak sipil.
V. Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat
Seperti dikemukakan di atas, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi
yang ada dalam masyarakat. Beberapa aspek di antaranya dapat diketengahkan sebagai berikut:
Pertama, peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat
menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa upaya yang harus dilakukan:
1) Birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh
rakyat.
2) Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Artinya, berilah sebanyak-banyaknya
kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu
memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri.
3) Untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaiknya, baik pengetahuannya
maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan
bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan rakyat membangun dengan
kemandirian.
4) Birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan konsultasi ini amat perlu
untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu
jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat.
5) Birokrasi harus membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak
dapat diperolehnya sendiri.
6) Birokrasi harus menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang
memihak golongan masyarakat yang lemah.
Untuk dapat menjalankan misinya, maka birokrasi harus (1) ditingkatkan kewenangannya
sampai di lapisan terendah, (2) ditingkatkan kualitasnya, agar benar -benar mampu memberikan
bimbingan dan pemberdayaan masyarakat. Terutama titik berat harus diberikan kepada aparat pada
tingkat yang langsung berhadapan dengan masyarakat, baik secara hirarkis seperti aparat desa dan
kecamatan, maupun fungsional seperti PPL, guru, dokter, dan bidan.
Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di sini
yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), di
samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan lokal. LSM dapat
berfungsi sebagai pelaksana program pemerintah (mewakili pemerintah), dapat menjadi pembantu
(konsultan) pemerintah, tetapi dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah.
Sebaliknya LSM, sesuai dengan namanya, dapat pula mengembangkan programnya sendiri.
Dalam rangka ini, aparat setempat harus menjalin kerjasama erat dengan LSM, agar program LSM
dapat bersinergi dengan program pemerintah, atau sekurang-kurangnya tidak terjadi kesimpangsiuran
yang dapat mengakibatkan benturan yang hanya akan merugikan rakyat. LSM harus diperlakukan
sebagai mitra pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Tentunya yang dimaksudkan di
sini adalah LSM yang murni dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan politik yang hanya
menggunakan rakyat sebagai alat politik.
Ketiga, lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan di dalam masyarakat itu sendiri, atau
sering disebut sebagai local community organization. Lembaga ini dapat bersifat semi atau kuasiformal seperti LKMD, PKK atau Karang Taruna, atau yang benar-benar tumbuh dari masyarakat
sendiri seperti kelompok arisan, kelompok sinoman, kelompok paketan dan sebagainya.
Dalam rangka IDT, kelembagaan dalam masyarakat tersebut dikembangkan oleh masyarakat
sendiri, sebagai bagian dari mekanismenya, yaitu kelompok-kelompok masyarakat (pokmas) yang
terdiri dari atas 10 sampai 30 kepala keluarga. Kelompok-kelompok masyarakat serupa itu adalah www.ginandjar.com 16
yang paling efektif untuk upaya pemberdayaan masyarakat, oleh karena tumbuh dan berakar dari
kalangan masyarakat sendiri. Secara sendiri-sendiri penduduk miskin sulit dapat mengatasi
hambatan yang menyebabkan kemiskinannya. Secara bersama-sama, mereka dapat saling
memperkuat dan saling menutupi kelemahan. Dinamika kelompok dan sinergi diharapkan dapat
menghasilkan nilai dari upaya individual dalam kelompok.
Keempat, koperasi. Koperasi merupakan wadah ekonomi rakyat yang secara khusus
dinyatakan dalam konstitusi sebagai bangun usaha yang paling sesuai untuk demokrasi
ekonomi Indonesia. Koperasi dapat merupakan wahana yang efektif bagi upaya
pemberdayaan masyarakat, dengan membangun manusia modern namun dengan dasar -dasar
kekeluargaan dan kegotongroyongan yang menjadi ciri demokrasi Indonesia.
Koperasi harus menjadi sasaran bagi pengembangan kelompok masyarakat yang sudah
dapat melampaui tahap awal kerjasama dan kerja bersama dalam kelompok. Formalisasi
kelompok sebagai badan (entity) ekonomi harus diarahkan ke dalam bentuk koperasi.
Namun, untuk itu kelompok dan anggota-anggotanya harus benar-benar dipersiapkan, agar
bentuk koperasi dapat sungguh-sungguh menunjang upaya meningkatkan kegiatan usaha
para anggota yang dilakukan secara bersama.
Kelima, pendamping. Penduduk miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam
mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, diperlukan pendamping untuk membimbing penduduk
miskin dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pendamping bertugas menyertai proses
pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, ataupun
dinamisator.
Lingkup pembinaan yang dilakukan para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia, yakni kualitas para anggota dan pengurus kelompok serta peningkatan
kemampuan usaha anggota. Untuk maksud tersebut, pendamping perlu mengenal dan mengadakan
komunikasi yang intensif dengan kelompok. Pendamping yang paling efektif adalah dari anggota
masyarakat itu sendiri, yaitu anggota masyarakat yang telah lebih sejahtera dan telah berhasil dalam
kehidupan dan kegiatan ekonominya. Selain itu, seperti dalam program IDT dapat direkrut
sarjana-sarjana untuk menjadi pendamping purna waktu, antara lain dari kalangan alumni penerima
beasiswa Supersemar.
Selain itu, pendamping dapat diambil dari petugas lapangan pada tingkat kecamatan dan desa
dari berbagai departemen dan lembaga kemasyarakatan, antara lain dari Departemen Dalam Negeri
(Latihan Pembangunan Desa Terpadu atau LPDT), Departemen Pertanian (Penyuluh Pertanian
Lapangan atau PPL dan Penyuluh Pertanian Spesialis atau PPS), Departemen Sosial (Petugas Sosial
Kecamatan atau PSK dan Karang Taruna), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (Petugas
Lapangan KB atau PLKB), Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Pemuda Pelopor), Departemen
Tenaga Kerja (Tenaga Kerja Mandiri Profesional atau TKST), Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan atau SP3), para dokter, bidan desa, guru,
serta para petugas lainnya yang ada di desa dan hidup di tengah-tengah masyarakat desa. Disamping
itu, secara swadaya dan sukarela perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga
kemasyarakatan lainnya, seperti LSM, dapat pula ikut serta sebagai pendamping.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, pendamping harus siap bekerja setiap
waktu, menghadiri pertemuan kelompok, mengorganisasikan program latihan, serta membantu
kelompok dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.
Keenam, pemberdayaan masyarakat harus dicerminkan dalam proses perencanaan
pembangunan nasional, sebagai aliran dari bawah ke atas. Dewasa ini upaya tersebut telah dilakukan
mulai dari tingkat desa dengan musyawarah pembangunan desa (LKMD), forum diskusi UDKP di
tingkat kecamatan, sampai ke Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat II, Rapat Koordinasi
Pembangunan Daerah Tingkat I, Rapat Konsultasi Regional Pembangunan, dan Rapat Konsultasi
Nasional Pembangunan.
Mulai dari Dati II, kelembagaan perencanaan sudah cukup kuat, karena telah ada Bappeda.
Di tingkat kecamatan telah ada pula pejabat teknis seperti PPL, mantri statistik, juru penerang, dokter www.ginandjar.com 17
puskesmas, yang dapat membantu kegiatan perencanaan meskipun pada taraf yang sederhana. Yang
masih lemah dan harus diperkuat dalam proses perencanaan ini adalah kemampuan perencanaan pada
tingkat desa. Upaya itu harus meliputi penyempurnaan kelembagaan desa, penguatan sumber daya
manusia serta pengembangan budaya masyarakat desa yang tanggap pada perubahan atau dapat
disebut pula modernisasi masyarakat desa.
Ketujuh, keikutsertaan masyarakat yang lebih mampu, khususnya dunia usaha dan swasta.
Pemberdayaan masyarakat dapat lebih optimal jika terjadi keterkaitan dalam kemitraan usaha
diantara yang telah mampu dengan yang masih tertinggal terutama melalui penyediaan modal usaha
untuk pengembangan usaha penduduk miskin. Model seperti ini sedang dikembangkan melalui
gerakan nasional tabungan keluarga sejahtera (Takesra) dan kredit usaha keluarga sejahtera
(Kukesra). Dalam Takesra dan Kukesra, penduduk miskin yang termasuk dalam kategori keluarga
prasejahtera dan sejahtera I mendapatkan bantuan suntikan tabungan dengan maksud untuk
membiasakan menabung dan mengelola keuangan dengan baik. Bagi penduduk miskin yang telah
mampu menabung dapat mengajukan bantuan modal berupa kredit Kukesra dengan menyampaikan
rencana kegiatan produktif. Bantuan modal yang diberikan kepada penduduk miskin tersebut berasal
dari masyarakat yang telah lebih mampu.
Upaya ini yang prakarsanya diambil oleh pemerintah dapat diperluas, dalam berbagai bentuk
pola kemitraan langsung terutama antara usaha swasta dengan usaha ekonomi rakyat. Potensi dunia
usaha dan masyarakat yang mampu untuk turut memberdayakan masyarakat cukup besar, dan perlu
dikembangkan, karena selain penting artinya untuk memperkukuh perekonomian nasional, juga akan
mempertebal persatuan dan kesatuan bangsa, karena kuatnya solidaritas sosial.
VI. Bias-bias Pemikiran tentang Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan
telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen
tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya
dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus.
Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa
konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang
dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk
menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak
nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tenteram
dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.
Bias pertama adalah adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari
pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi
kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan
itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian.
Bias kedua adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih
sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass-root). Akibatnya
kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.
Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih
memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering
mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan
teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia, dan mengakibatkan makin
tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.
Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diper kenalkan dari atas selalu jauh
lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat
menyebabkan pendekatan pembangunan yang, di satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan www.ginandjar.com 18
teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam
tahap perkembangannya ini. Di lain pihak, pendekatan pembangunan terlalu mengabaikan potensi
teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien
dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor.
Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan
rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan.
Anggapan ini membuat lembaga-lembaga masyarakat di lapisan bawah itu kurang dimanfaatkan dan
kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memper kuat serta memberdayakannya. Bahkan justru
terdapat kecenderungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu
sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
Bias keenam adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya
atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk
dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Ini
tercermin pada reaksi pertama terhadap program Inpres Desa Tertingal (IDT) yang meragukan
apakah tepat masyarakat miskin dipersilahkan memilih sendiri bagaimana memanfaatkan dana
bantuan yang diperolehnya. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang
ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan
rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan subjek pembangunan.
Bias ketujuh berkaitan dengan di atas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena
bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti
memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan
demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha
penguatan ekonomi.
Bias kedelapan adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya
ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi
pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan
merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka
waktu (time frame) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep
pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari
pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
Bias kesembilan adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan perdesaan adalah sektor
tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang, karena it u kurang menarik
untuk melakukan investasi modal besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan
petani dan usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan perdesaan dipandang tidak menguntungkan dan
memiliki risiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya
untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil di perdesaan.
Bias kesepuluh berkaitan dengan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada
sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti
tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan PDB (di atas 30%, termasuk salah satu
tingkat tertinggi di dunia), acapkali terasa tidak terimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui
sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar, dan sebagian cukup besar di antaranya
untuk investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi makin cenderung
terpusat di perkotaan, di sektor industri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya
juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukkan bahwa
investasi di wilayah perdesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang
menyebabkan ekonominya menjadi kukuh.
VII. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka pengembangan Ekonomi Rakyat
Guna memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional
diupayakan untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural adjustment atau structural www.ginandjar.com 19
transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke
ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsisten ke ekonomi
pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian. Perubahan struktural serupa ini mensyaratkan
langkah-langkah mendasar yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, serta
pemberdayaan sumber daya manusia.
Dengan memperhatikan berbagai pandangan termasuk bias -bias terhadap konsep
pemberdayaan itu, beberapa langkah strategis harus ditempuh untuk mengembangkan ekonomi
rakyat melalui pemberdayaannya.
Pertama, peningkatan akses ke dalam aset produksi (productive assets). Bagi masyarakat
petani yang masih dominan dalam ekonomi rakyat, modal produktif yang utama adalah tanah.
Karena itu kebijaksanaan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah sangat penting dalam
melindungi dan memajukan ekonomi rakyat ini. Pemilikan tanah yang makin mengecil
(marjinalisasi) harus dicegah. Persoalan ini tidak mudah, karena menyangkut budaya dan hukum
waris. Namun, dalam rangka proses modernisasi budaya masyarakat, kebiasaan untuk membagi
tanah semakin kecil sebagai warisan harus dihentikan. Untuk dapat melakukan hal itu memang harus
ada alternatif, antara lain berupa pemanfaatan lahan secara lebih efisien (misalnya mixed farming,
mixed landuses), penciptaan lapangan kerja perdesaan di luar pertanian (agroindustri dan jasa),
program transmigrasi dan sebagainya. Dalam rangka ini upaya untuk memelihara dan meningkatkan
produktivitas (dan dengan demikian nilai aset) lahan harus ditingkatkan, misalnya dengan pengairan,
pemupukan, diversifikasi usaha tani, atau pemilihan jenis budi daya (untuk memperoleh nilai
komersial yang tinggi). Di samping itu akses masyarakat kepada lingkungan hidup yang sehat yang
tidak tercemar akan mengurangi beban dan menambah produktivitas masyarakat.
Masalah yang paling mendasar dalam rangka transformasi struktural ini ternyata adalah
akses ke dalam dana. Tersedianya kredit yang memadai dapat menciptakan pembentukan modal bagi
usaha rakyat sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan, serta menciptakan surplus yang
dapat digunakan untuk membayar kembali kreditnya dan melakukan pemupukan modal.
Permasalahannya adalah adanya prasyarat perbankan yang membuat masyarakat lapisan bawah
umumnya dinilai tidak bankable. Keadaan ini menyebabkan terbatasnya interaksi antara lembaga
keuangan yang melayani pemberian kredit dengan masyarakat kecil yang memerlukan kredit.
Akhirnya, modal makin banyak terkonsentrasi pada sektor modern, khususnya pada usaha besar,
yang berakibat makin lebarnya jurang kesenjangan. Karena itu, langkah yang amat mendasar yang
harus ditempuh adalah membuka akses ekonomi rakyat ke dalam modal. Untuk itu memang
diperlukan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan konvensional.
Akses ke dalam modal harus diartikan sebagai keterjangkauan, yang memiliki dua sisi:
pertama, ada pada saat diperlukan, dan kedua, dalam jangkauan kemampuan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, persyaratan teknis perbankan seperti yang biasa digunakan di sektor
modern, tidak dapat diterapkan di sini, paling tidak pada tahap awal. Misalnya, penilaian pemberian
kredit tidak harus berdasarkan agunan, tetapi berdasarkan prospek kegiatan usaha. Demikian pula
penentuan tingkat suku bunga harus memperhatikan kondisi ekonomi rakyat yang senyatanya, dan
menguntungkan usaha ekonomi rakyat.
Secara mendasar dan sesuai dengan tujuan membangun kemandirian masyarakat perdesaan,
yang merupakan bagian terbesar ekonomi rakyat, membangun lembaga pendanaan perdesaan, yang
dimiliki, dikelola, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri, amatlah strategis sifatnya. Inilah
sebenarnya tujuan utama bantuan modal kerja dalam rangka program IDT, yaitu menanamkan prinsip
monetisasi di perdesaan. Monetisasi merupakan dasar pemupukan modal, dan pemupukan modal
adalah landasan dalam perubahan struktural yang tumbuh dan berkembang. Modal usaha tersebut
adalah hibah kepada masyarakat, yang dipinjamkan kepada anggota masyarakat, dengan biaya atau
bunga, sebesar yang ditentukan masyarakat sendiri dengan cara yang sesuai dengan tradisi dan
budaya setempat. Kelompok masyarakat yang mengelola modal usaha ini diharapkan dapat
berkembang menjadi lembaga dana di perdesaan.
Tidak kurang penting pula adalah akses ke dalam teknologi. Kita tidak berbicara tentang
teknologi tinggi yang rumit, tetapi teknologi sederhana yang aplikasinya dapat meningkatkan produk-www.ginandjar.com 20
tivitas atau keterjaminan produksi dan segera memberi hasil berupa peningkatan pendapatan.
Misalnya, pengetahuan mengenai penetasan telor itik, pemeliharaan ikan di kolam kecil, menanam
sayur di lahan kering, atau pengaturan dan pengelolaan sumber air.
Kedua, memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat. Sebagai produsen
dan penjual, posisi dan kekuatan rakyat dalam perekonomian sangatlah lemah. Mereka adalah price
taker karena jumlahnya yang sangat banyak dengan pangsa pasar masing-masing yang sangat kecil.
Lebih jauh lagi, dalam operasinya mereka biasanya menghadapi kekuatan usaha besar yang melalui
persaingan tak seimbang akan mengambil keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, tidak ada insentif
untuk meningkatkan mutu, karena keuntungan dari peningkatan mutu justru akan ditarik oleh usaha
besar. Karenanya, kualitas dan tingkat keterampilan rendah menjadi karakteristik pula dari ekonomi
rakyat. Selain itu, khusus untuk yang bergerak di sektor pertanian bahan makanan umumnya
penawaran rakyat hampir inelastis sempurna. Mereka tidak dapat menambah atau mengurangi persediaan secara cepat dengan naik atau turunnya harga. Terlebih lagi sifat produknya umumnya tidak
tahan lama. Untuk memperbaiki keadaan ini, kualitas produk harus ditingkatkan. Untuk itu
pertama-tama rakyat harus dibantu dengan prasarana dan sarana perhubungan yang akan
memperlancar pemasaran produknya.
Selain itu, rakyat harus pula diorganisasikan untuk bersama-sama memasarkan hasil
produksinya sehingga sedikit banyak memperkuat posisinya. Wadah koperasi amat cocok untuk
kegiatan ini, meskipun tidak harus satu-satunya. Unsur penting lainnya adalah informasi pasar,
mengenai kecenderungan permin taan di pasar domestik maupun pasar internasional, harga, kualitas,
standar, dan sebagainya sehingga produksi rakyat sejalan dengan permintaan pasar. Ini tentunya
pemerintah, tetapi juga tugas dunia usaha untuk turut membantu.
Tugas pemerin tah yang amat penting adalah pengelolaan ekonomi makro yang
menunjang bagi ekonormi rakyat. Stabiltas ekonomi amat penting bagi ekonomi rayat.
Karena yang pertama-tama dirugikan jika terjadi gejolak adalah rakyat. Kebijaksanaan harga,
baik yang secara langsung dikuasai perrintah atau secara tidak langsung, juga harus
diarahkan untuk meningkatkan ekoncmi rakyat. Upaya untuk memelihara nilai tukar sektor
pertanian, misalnya, amatlah penting. Selanjutnya kelancaran distribusi arus barang dan jasa
pada umumnya amat penting pula bagi ekonomi rakyat di lapisan paling bawah, yang
umumnya tidak banyak mempunyai pilihan. Ini dapat didukung dengan pengembangan
infrastruktur perdesaan.
Untuk meningkatkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, bantuan pembangunan
dari pemerintah berupa dana, prasarana dan sarana tersebut diberikan langsung kepada penduduk
miskin di desa tertinggal. Penduduk miskin dibina dan diarahkan untuk membentuk kelompok
masyarakat sasaran (pokmas) dengan bimbingan yang dilakukan oleh pendamping. Pendamping
diutamakan berasal dari aparat desa setempat, tokoh masyarakat ataupun anggota masyarakat
setempat yang telah lebih mampu dan lebih maju.
Aparat pemerintah daerah merupakan pihak yang paling mengetahui masalah yang
dihadapi oleh masyarakatnya. Dengan demikian, pembinaan dan koordinasi penanggulangan
kemiskinan sejauh mungkin dideiegasikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pendelegasian kevvenangan ini bukan hanya proses administrasi, tetapi juga menunjukkan
suatu proses pernbangunan yang dilaksanakan di daerah, oleh daerah sendiri, dan hasilnya
ditujukan untuk kesejahteraan rakyat di daerah. Pelaksanaan pembangunan ini berkaitan
dengan peningkatan kemampuan seluruh aparatur pemerintah di daerah dan penyiapan
masyarakat. Secara ringkas, pemberian wewenang kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
dikaitkan dengan unsur penting, yaitu (1) kemantapan kelembagaan, (2) ketersediaan sumber
daya manusia yang memadai, khususnya aparatur pemerintah daerah, serta (3) potensi
ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri. Desa melalui wadah
kelompok-masyarakat.-desa yang terhimpun-dalam musyawarah Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD), sampai pada mekanisme perencanaan di tingkat kecamatan
melalui diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).www.ginandjar.com 21
Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan mendayagunakan mekanisme
perencanaan dari bawah. Di tingkat desa melalui wadah kelompok masyarakat desa yang terhimpun
dalam musyawarah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), sampai pada mekanisme
perencanaan di tingkat kecamatan melalui diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai
suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat di
daerah. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu
kalau yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang
menghasilkan.
Dalam program IDT, dilakukan pula pendekatan kaji tindak. Untuk itu dipilih 40 desa di 26
propinsi (kecuali DKI) yang mencerminkan tipologi desa-desa di seluruh Indonesia. Melalui Kaji
Tindak yang meliputi upaya pembinaan khusus dan penelitian data dasar sosial ekonomi masyarakat
desa tertinggal, diperoleh informasi bahwa proses transformasi struktural mulai terjadi di desa-desa
binaan tersebut (Sajogyo, 1995). Dengan tingkat perkembangan yang berbeda, disebabkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang berbeda, potensi wilayah yang berbeda, serta kemampuan sumber
daya manusia yang bervariasi, telah dirasakan bahwa program IDT memberikan dampak positif
dalam menggerakkan ekonomi rakyat.
Dalam rangka itu, melalui kegiatan sarjana pendamping purna waktu (SP2W) yang
menerapkan metoda pembinaan berdasar Rapid Rural Appraisal (RRA) penduduk miskin dibina
dalam wadah kelompok masyarakat sasaran dengan: (1) merumuskan masalah, (2) merencanakan
kegiatan sosial ekonomi, (3) memilih kegiatan sosial ekonomi yang menguntungkan, serta (4) diawali
dengan pencatatan kegiatan secara sederhana.
Kaji tindak yang dilaksanakan berdasarkan kerjasama antara universitas setempat dengan
pemerintah ini adalah salah satu wujud nyata pemberdayaan kepada masyarakat untuk memajukan
dan memandirikan penduduk miskin di desa tertinggal sesuai dengan tingkat perkembangan sosial
ekonomi masyarakat setempat dengan pendekatan langsung dan proaktif. Masalah-masalah yang
dihadapi sebagai hasil suatu kajian langsung di pecahkan di lapangan.
IX. P e n u t u p
Sebagai penutup, secara umum dalam rangka pembangunan dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat, penyempurnaan mekanisme pembangunan perlu dilakukan mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Pertama, penajaman sasaran pembangunan
dengan pengertian bahwa investasi pemerintah melalui bantuan dana, prasarana dan sarana
benar -benar mencapai kelompok sasaran yang paling memerlukan sehingga meningkatkan kegiatan
sosial ekonomi masyarakat secara berkesinambungan. Kedua, kelancaran dan kecepatan dalam
penyaluran dana serta pembangunan prasarana dan sarana sehingga dapat segera digunakan
sepenuhnya oleh kelompok masyarakat tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan jangka waktu
yang disediakan. Ketiga, membangun kesiapan masyarakat dalam menerima dan mendayagunakan
dana, prasarana, dan sarana. Keempat, masyarakat harus diberi kepercayaan untuk memilih kegiatan
usahanya dan diberi bimbingan berupa pendampingan supaya berhasil. Misalnya, dalam rangka
pembangunan prasarana di perdesaan, harus juga sejauh mungkin dilaksanakan oleh masyarakat,
sekurang-kurangnya masyarakat ikut serta di dalamnya. Kelima, kemampuan masyarakat bersama
aparat untuk meningkatkan nilai tambah dari investasi tersebut dan menciptakan akumulasi modal.
Keenam, kelengkapan pencatatan sebagai dasar pengendalian dan penyusunan informasi dasar yang
lengkap, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi dan penyempurnaan program yang akan datang.
Karena pembangunan di tingkat perdesaan dan pemberdayaan masyarakat menyangkut
kegiatan banyak sektor, maka koordinasi amat penting untuk menyatukan berbagai upaya agar
menghasilkan sinergi, serta untuk menghindari tumpang tindih sehingga dapat dijamin efisiensi
dalam upaya mencapai hasil yang optimal.www.ginandjar.com 22
Demikianlah pokok-pokok pikiran mengenai pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah
konsep pembangunan yang berakar pada rakyat dan bertujuan memampukan dan memandirikan
masyarakat. Sebagai pendekatan yang relatif baru, pandangan-pandangan di atas masih banyak
kekurangannya dan jelas perlu terus disempurnakan dan diperkuat baik dengan kajian-kajian empiris
maupun teoretis.
Namun, sebagai bahan awal kiranya bermanfaat dan dapat menggugah serta merangsang
para pelajar dan pemikir berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkannya lebih lanjut,
dan bagi para praktisi sebagai bahan referensi.
Daftar Pustaka
Agpalo, Remigio, E., Modernization, Development, and Civilization: Reflections on the Prospects of
Political Systems in the First, Second and third Worlds dalam Kenneth E. Bauzon (ed),
Development and Democratisation in the Third World: Myths, Hopes and Realities;
Washington: Crane Russak, 1992.
Anonim, Panduan Program Inpres Desa Tertinggal; Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional - Departemen Dalam Negeri, 1994.
---------, Pembinaan Program dan Pendampingan Pokmas IDT; Jakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional - Departemen Dalam Negeri, 1995.
---------, Kaji Tindak Program Inpres Desa Tertinggal Tahun Pertama; Jakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 1995.
Arndt, Heinz W., Economic Development: The History of An Idea; Chicago: The University of
Chicago Press, 1987.
Azis, Iwan Jaya. Kesenjangan Antara Ekonomi Makro dan Gejala Mikro: Keterbatasan Ilmu
Ekonomi? Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 29 Februari 1996.
Baran, P.A., The Political Economy of Growth; New York: Monthly Review Press, 1957.
Bauzon, Kenneth E (ed), Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes and
Realities; Washington: Crane Russak, 1992.
Becker, Gary S., Human Capital: A Theoritical Approach and Empirical Analysis with Special
Reference to Education; New York: Columbia University Press, 1964.
Beebe, James. “Basic Concepts and Techniques of Rapid Appraisal”. Human Organization, vol. 54,
No. 1, Spring 1995.
Brautigam, Deborah. “Reducing Poverty: Lesson from Taiwan”. Uner Kirdar dan Leonard Silk
(eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University
Press, 1995.
Brown, Donald. “Poverty-Growth Dichotomy”. Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), People: From
Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press, 1995.
Buchori, Mochtar. “Pengantar”. Walter Fernandes dan Rajesh Tandon (eds.) Riset PartisipatorisRiset Pembebasan. Penyunting: Wardaya dan Hardiman. Gramedia Pustaka Umum, 1993.
Cariola, C. dan Sunkel O., Un Siglo de Historia Economica de Chile, 1830-1930; Madrid: Ediciones
Cultura Hispanica, juga dalam R. Cortez Conde and S.J. Hunt (eds) The Latin American
Economies: Growth and the export sector, 1880-1930; New York: Holmes and Meier, 1982.
Catanese, J.A. and J.C. Snyder. Pengantar Perencanaan Kota. Penyunting: Sussongko. Penerbit
Erlangga. Jakarta, 1986.www.ginandjar.com 23
Chambers, Robert. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk
(eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University
Press, 1995.
---------, “Shortcut Methods in Social Information Gathering for Rural Development Projects”.
Proceedings of the 1985 International Conference on Rapid Rural Appraisal. Khon Kaen
University: Rural Systems Research and Farning Systems Reseac h Project, 1987.
Chenery, Hollis B. et al, Redistribution with Growth; New York: Oxford University Press,1974.
---------, dan Moshe Syrquin, Patterns of Development, 1950-1970; New York: Oxford University
Press, 1975.
Dasgupta, Partha, An Inquiry into Well-Being and Destitution; New York: Oxford University Press,
1993.
Davidoff, Paul. “Advocacy and Pluralism in Planning”. Journal of the American Institute of
Planners, 1965.
Domar, E.D., Capital Expansion, Rate of Growth, and Employment dalam Econometrica, 1946.
Dos Santos, T. dan H. Bernstein (ed), The Crisis of Development Theory and the Problems of
Dependency in Latin America: Underdevelopment and Development; Harmondsworth:
Penguin, 1969.
Frank, Andre G., Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Historical Studies of Chile
and Brazil; New York, London: Monthly Review Press, 1967.
Friedman, John, Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell,
1992.
Goulet, Denis, The Cruel Choice: A New Concept in the Theory of Development; New York:
Atheneum, 1977.
Harrod, R.F., An Essay in the Dynamic Theory, Economic Journal; London: Macmillan, 1948.
Kartasasmita, Ginandjar, Ekonomi Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan; Jakarta:
CIDES, 1995.
---------, Pembangunan Menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri: Sebuah Tinjauan Mengenai
Berbagai Paradigma, Problematika, dan Peran Birokrasi dalam Pembangunan; Pidato
Penerimaan Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Dalam Ilmu Administrasi
Pembangunan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 15 April 1995.
---------, Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi; Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar dalam Ilmu Administrasi pada Fakultas Ilmu Administrasi Pemangunan
Universitas Brawijaya; Malang, 27 Mei 1995.
---------, Administrasi Pembangunan; Bahan Kuliah Bagian I; Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya; Malang, 1995.
Kendrick, John W., The Formation and Stocks of Total Capital; New York: Columbia University
Press, 1976.
Keynes, John M., The General Theory of Employment, Interest, and Money; Harcourt: Brace and
World, 1936.
Khan, A.M. dan Krisnawati Suryanata. A Review of Participatory Reseach Techniques for National
Resources Management. The Ford Foundation: Southeast Asia Regional Office. Jakarta,
1994.
Kirdar, Uner dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York:
New York University Press, 1995.
Korten, David C, People Centered Development ; West Harford: Kumarian Press, 1984. www.ginandjar.com 24
---------, People Centerd Delopment: Alternative for a World Crisis dalam Kenneth E. Bauzon (ed),
Development and Democratisation in the Third World: Myths, Hopes and Realities;
Washington: Crane Russak, 1992.
Lewis, W.A. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour; Manchester: The
Manches ter School, 1954.
Malthus, Thomas R, Essay on the Principal of Population as its Affects; Future Improvement of
Society, 1798.
Montgomery, John D, Bureaucrats and People: Grassroot Participation in Third World
Development; Baltimore: The John Hopkins University Press, 1988.
Nurkse, Ragnar, Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries; New York: Oxford
University Press, 1953.
Otubusin, Paul O., Exploitation, Unequal Exchange and Dependency: A Dialectical Development ;
New York: Peter Lang, 1992.
Ranis, Gustav. “Reducing Poverty: Horizontal Flows Instead of Trickle Down”. Uner Kirdar dan
Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York
University Press, 1995.
Ricardo, David, On The Principles of Political: Economy and Taxation, Cambridge: Cambridge
Univ. Press, 1917.
Romer, Paul, Endogenous Technological Change dalam Journal of Political Economy, 1990.
Rondinelli, Dennis A., Development Projects as Policy Experi ments: An Adaptive Approach to
Development Administration; New York: Routledge, 1993. Rostow, W.W., The Stages of
Economic Growth: A Non-Communist Manifesto; Cambridge: Cambridge University Press,
1960.
Rubin, Irene S, Budgeting: Theory, Concept, Methods and Issues dalam Jack Rabin (ed), Handbook
of Public Budgeting; New York: Marcell Decker, Inc; 1992.
Sajogyo et al., Program IDT: Penelitian Data Dasar Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Tertinggal
Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya (Ringkasan Eksekutif); Jakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional - Yayasan Agro Ekonomika, 1995.
Seers, Dudley, The Meaning of Development; bagian dari The Meaning of Development; dalam
International Development Review, Vol 11 no 4, 1969.
----------, New Approaches Suggested by The Columbia Employment Programme; dalam
International Labour Review, 1970.
Seligson, Mitchell A dan John T. Passe-Smith, Development and Underdevelopment: The Political
Economy of Inequality; Boulder: Lynne Rienner Publisher, Inc., 1993.
Smith, Adam, An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nations.; New York:
Modern Library, 1776.
Solow, Robert M, Technical Change and the Aggregate Production Function dalam Review of
Economics and Statistics, August 1957.
Streeten, Paul. et al, Meeting Basic Human Needs in Developing Countries.: New York: Oxford
University Press, 1981.
Tavares, M.C. dan Serra, J., Mas allá del estanciamento, dalam J. Serra, Desarrollo
Latinoamericano: Ensayos Criticos; Mexico: Fondo de Cultura Economico, 1974.
Todaro, Michael P, Economic Development Report in the Third World ; New York: Oxford
University Press, 1985.www.ginandjar.com 25
Ul Haq, Mahbub, et al, Human Development Report 1985 ;New York: Oxford University Press,
1985.
---------, Reflections of Human Development ; New York: Oxford University Press, 1995.
UNDP, Human Development Report 1990 ; New York: Oxford University Press 1990.
---------, Human Development Report 1995 : New York: Oxford University Press 1995.