Ia adalah enigmatic. Soeharto presiden ke 2 di republik Indonesia menjadi salah seorang tokoh yang determinan dalam sejarah Indonesia modern. Sejauhmanakah peran dari seorang tokoh dalam menentukan hela jatuh bangun arus besar kehidupan sosial politik? Dalam novelnya Pramodya Ananta Toer menuturkan dua sosok yang diametral, dalam cerita yaitu Wiranggaleng dalam Arus Balik dan Minke dalam Bumi Manusia .[1] Yang satu begitu hegemonik dalam melahap sebahagian besar porsi dari sebuah arus besar , yang satu merupakan noktah dari gambaran besar arus yang ada. Dalam hal ini Soeharto terlanjur dilekatkan dengan kemampuannya melahap banyak saham dalam warna Orde Baru. Hal ini dapat dilihat pada analisis para Indonesianis maupun dalam negeri, bahkan Liddle mengistilahkannya dengan Soeharto deterministic.
Siapakah Soeharto? Berbeda dengan pendahulunya Soekarno yang lebih glamour dalam garis keturunan, Soeharto cenderung tidak menonjolkan silsilah keluarganya ke khalayak ramai. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di dusun Kemusuk. Dia adalah seorang anak desa yang lahir dari keluarga petani miskin. Ibunya ialah Sukirah dan ayahnya ialah Kertosudiro. Penderitaan hidup sedari kecil membuatnya berhati- hati untuk bergantung pada orang lain dalam hal apa pun. Ia juga lebih menyukai hubungan dekat dengan beberapa orang saja dimana ia menjadi tokoh dominannya.[2] Hal inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengenai blok aliansi yang dipintal dan disulam oleh Soeharto sepanjang masa kekuasaannya.
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam usaha penumpasan PKI. Episode seputar perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto hingga saat ini masih menyisakan sekelumit misteri yang mengusik, mulai dari surat Supersemar, Gestapu yang terjadi, dan peran penting Soeharto dan lain sebagainya. Pada awalnya Soeharto bukanlah tokoh yang diperhitungkan dan kuat namun seiring perjalanan waktu kepiawaiannya dalam mengelola pintal kekuasaan membuatnya teramankan di kursi RI 1. Masa pemerintahan Soeharto dikenal dengan istilah Orde Baru sebagai antitesa dari masa pemerintahan Soekarno yang diistilahkan dengan istilah Orde
Lama. Perbedaan yang didengungkan antar kedua fase sejarah ini ialah Orde Baru melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sedangkan Orde Lama tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tentunya hal ini merupakan tafsiran yangdebatable di masa reformasi dikarenakan bagaimana atas nama konstitusi justru menjadi pelumpuh kegiatan oposisi, demokrasi yang jauh dari harapan, dan pengokohan otoriter dalam durasi yang panjang.
Akibat langsung dari masa Orde Lama ialah 2 terminologi penting dalam Orde Baru yaitu pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik. Dalam hal pembangunan ekonomi, bagaimana Soeharto mempercayakan pada etnis Tionghoa dalam mengembangkan bisnisnya baik itu dari kalangan keluarga maupun pengusaha yang dibesarkan oleh Negara. Dalam hal ini dapat dilihat percikan pengaruh dari masa kecil Soeharto yang mempercayakan pada beberapa pihak dengan dirinya menjadi tokoh. Pembangunan ekonomi juga memberi ruang bagi masuknya modal asing dan sejumlah pinjaman asing. Dalam hal ini bagaimana teori Harold Dumer yang menekankan pada modal dan investasi diterapkan untuk menyokong pembangunan ekonomi yang dinamis. Teori trickle down effect akhirnya menjadi pemenang dalam fase Orde Baru setelah debat intelektual dan adu kekuatan yang mengerucut pada peristiwa MALARI. Sedangkan dalam hal stabilisasi politik, melalui otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya – dijelaskan bahwa hanya oposisi loyal yang dibolehkan hidup.[1] Hal ini membawa dampak pada pelumpuhan pemikiran dan aksi oposisi. Oposisi di masa kejayaan Soeharto tertindas secara struktural dan kultural. Kemeriahan yang diperlihatkan dalam konfigurasi persaingan pemilu 1955, tiada terlihat sepanjang pemilu di masa Orde Baru dikarenakan relatif berusaha dimandulkannya politik aliran dan hegemoniknya Golkar dalam setiap kemenangan dalam sejarah pemilu Orde Baru. Stabilisasi politik ini menjadi permasalahan dikarenakan menimbulkan korban jiwa (seperti peristiwa Tanjung Priok,dll) dan mencederai jiwa demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat .
Berbeda dengan Soekarno yang meluap- luap emosinya dalam pidato, figur Soeharto merupakan sosok yang kalem. Soeharto juga tidak meninggalkan kumpulan tulisan seperti halnya Mao, Ho Chi Minh, ataupun Mahathir. Yang menarik dari
penuturan salah seorang teknokrat Orde Baru bahwa dalam beberapa tahun pertama ketika mereka bertemu Soeharto, ia akan duduk dan mendengarkan. Dengan menggunakan pulpen Parker gemuk, ia mencatat pada buku notes besar selagi mereka terus berbicara. Namun, sang teknokrat ini menyatakan, bahwa setelah beberapa tahun, ketika ia cukup menguasai apa yang perlu ia ketahui, malah ia yang berbicara, dan giliran para teknokratlah yang mengeluarkan pena untuk mencatat apa- apa yang ia minta untuk dikerjakan.[1]
Kemandirian Soeharto sedari kecil membawa imbas pada ketrampilan Soeharto dalam memimpin pemerintahan. Soeharto begitu leluasa untuk memikat dan memarginalisasikan kelompok maupun orang- orang di sekitarnya. Dalam lingkar kekuasaannya berdiri para teknokrat, pengusaha, petinggi militer, sebagai mesin patronase yang rumit yang memastikan bahwa semua pelaku dalam Orde Baru secara praktis terkompromikan dan berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Kemampuannya dalam mengendalikan dan memilah kelompok yang akan dijadikan pendamping kekuasaannya memperlihatkan aksi politik yang unik bahkan dalam skala dunia sekalipun.
Dalam kaitannya dengan politik aliran, tradisionalisme Jawa juga mempengaruhi corak pemikiran dari Soeharto sepanjang pemerintahannya. Idiom- idom Jawa yang ditunjukkannya pada sejumlah kesempatan dan penghayatannya yang mendalam pada falsafah Jawa. Pada era 1990-an, pada dekade terakhir pemerintahannya terjadi perubahan signifikan pada diri Soeharto dengan memberikan akses lebih terbuka bagi kalangan muslim yang selama ini termarginalisasikan dalam kebijakannya. ICMI dan Muamalat dianggap representasi dari kekuatan sosial politik dan ekonomi ummat yang menjadi pertanda Soeharto di usianya yang kian menua mulai berusaha mendalami Islam dan tertarik pada Islam. Sekalipun begitu unsur budaya Jawa tidak lantas hilang sama sekali. Istilah lengser keprabon yang kemudian dipakai bagi pergantian pucuk RI 1 merupakan idiom Jawa. Terakhir, Soeharto merupakan dinamika yang unik dan teramat mewarnai corak Indonesia pada masanya dan masih kita rasakan gaungnya hingga sekarang. Diperlukan penilaian sejarah yang jernih dan kearifan untuk memaafkan sosok yang menyejarah ini.
[1] R.E.Elson, Suharto Sebuah Biografi Politik (2005), Jakarta:Minda, hal 578
[1] Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi (1999), Bandung: Rosdakarya, hal xx
[1] Eep Saefulloh Fatah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan (1999), Bandung: Rosdakarya, hal 79
[2] R.E.Elson, Suharto Sebuah Biografi Politik (2005), Jakarta: Minca, hal 575
Memahami Pemikiran Soeharto "Mikul Dhuwur Mendhem Jero"
"Fungsi jantung dan paru-paru masih belum stabil. Masih ada sedikit cairan di paru-paru dan tanda-tanda infeksi sistemik," kata Mardjo, yang didampingi sejumlah anggota tim dokter kepresidenan, di Jakarta.
Sakitnya Soeharto kali ini, cukup menarik perhatian banyak pihak. Bukan hanya para mantan menteri Orde Baru, seperti Moerdiono, Ismail Saleh dan BJ Habibie. Tetapi juga para sahabat dari negara lain, seperti mantan PM Singapura, Lee Kwan Yew, mantan PM Malaysia Mahatir Muhammad dan Raja Brunei Darrussalam, Sultan Hassanal Bolkiah.
Soeharto, yang lahir 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta, dikenal sebagai orang yang memelihara budaya Jawa, utamanya ajaran "pituduh" (bimbingan) dan "wewaler" (larangan).
Bertahun-tahun Soeharto mengumpulkan berbagai petuah dan larangan adat Jawa, melalui kitab-kitab seperti Centhini, Cipta Hening dan Jakalodhang yang ditulis para pujangga termashyur, seperti Raden Ngabehi Ranggawarsita, Yasadipuro dan Jayabaya.
Pemahaman Soeharto dalam hal "mikul dhuwur mendhem jero", yang berarti, mengangkat kebaikan orang dan menyimpan kesalahannya, terutama kepada kedua orang tua, guru dan atasan, kata Probosutedjo, adik tiri Soeharto kepada ANTARA News, di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, pekan lalu. Petuah dan larangan itu merupakan prinsip Soeharto dalam menjalankan filsafat kehidupannya.
Menurut Probosutedjo, ketika Pak Harto masih dapat berbicara dengan baik dan runtut, dia mengatakan banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai reformis. Tetapi sesungguhnya mereka itu oportunis dan bahkan melupakan sejarah.
"Orang yang mengaku-ngaku reformis itu, kurang memahami sejarah bangsa Indonesia," kata Probo mengutip peryataan Soeharto.
Probo, menguraikan tiga hal yang boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia, yakni pertama, Serangan kepada tentara kolonial Belanda di Yogjakarta, yang dikenal serangan 1 Maret 1948.
Kedua menyelamatkan sebagian umat Islam yang akan dibantai oleh gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dikenal dengan peristiwa 1 Oktober 1965 dan sebaliknya, menyelamatkan anggota PKI yang akan dibantai kelompok Islam radikal. Dan yang ketiga, mewujudkan cita-cita Presiden Pertama RI, Soekarno untuk memberantas kemiskinan dan setia menjalankan Pancasila.
Tiga masalah pokok itulah, kata Probo, sering dilupakan banyak orang, terutama yang mengaku kelompok reformis.
"Serangan Umum 1 Maret 1948 merupakan bagian sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Ketika itu Soeharto masih berpangkat Letnan Kolonel, tetapi sudah berani menjalankan perintah penguasa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX," katanya.
Radio India menangkap siaran dari Indonesia, bahwa ada tentara menyerang ibu kota, Yogjakarta. Berita itu kemudian ditangkap oleh pemerintah India dan oleh pemerintah India dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa.
"Tidak benar kalau tentara Indonesia sudah bubar atau meninggalkan kota," protes India ketika itu. Atas protes India itulah akhirnya, PBB memerintahkan Belanda untuk segera keluar dari Indonesia dan melakukan perundingan.
Dengan demikian, India punya jasa besar kepada Indonesia, karena ikut mendesak Belanda mundur dari Indonesia.
Penyelamatan sebagian umat Islam yang akan dibantai oleh PKI, kata Probo, dilakukan Soeharto dengan membubarkan PKI, meskipun waktu itu pengaruh Soekarno, cukup besar. Sedangkan para anggota PKI yang akan dibantai oleh kelompok Islam radikal, diselamatkan dengan memerintahkan tentara untuk melindungi dan menghargai proses hukum.
"Mikul Dhuwur Mendhem Jero"
Menyangkut konsep "mikul dhuwur mendhem jero", Soekarno pernah memanggil Soeharto. "Har, aku iki arep kok kapakake (Harto, saya ini mau kamu apakan).
Soeharto menjawab, saya ini hanya anak seorang petani dari Kemusuk, Bantul. Sesuai pesan kedua orang tua saya, `wong kuwi sing bisa mikul dhuwur mendhem jero. Menghormati orang tua, guru dan atasam.
Seperti yang disampaikan Antonie CA Dake, dalam buku Soekarno File, 2005 disebutkan, "Soekarno mengetahui tentang kisah yang sebenarnya mengenai penggerebekan rumah Nasution."
Di bagian lain disebutkan, "Berdasarkan penilaian Bung Karno, Jenderal Nasution, Yani, Haryono, S Parman, Sutoyo, Suprapto, Suwarto dan lain-lain tidak menunjukkan kecenderungan untuk merubah garis strategi politiknya, ..... maka tidak tersedia pilihan dari pada menyingkirkannya."
Melihat fakta seperti itu, Soeharto tetap loyal dalam melindungi nasib Soekarno. Bahkan Soeharto berjanji sebisa mungkin akan menyembunyikan kesalahan Soekarno dan secara bertahap melanjutkan programnya yang baik; mengentaskan kemiskinan, mengamankan Pancasila dan menjalankan Undang-undang Dasar 1945 secara konsekuen.
Apa yang disampaikan Soeharto itu, menurut Probo, sesuatu yang penting untuk diketahui generasi di masa depan. Karena kini sudah mulai banyak orang yang mulai melupakan sejarah bangsa Indonesia.
Menjalankan reformasi seperti di Thailand dan Malaysia, merupakan hal yang baik, tetapi jangan sampai menjadi "repot nasi".
Soeharto melaksanakan pembangunan atas dasar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dengan menjamin stabilitas politik, keamanan dan ekonomi.
"Semua dilakukan secara bertahap, tak ada jalan pintas." Di bidang politik, Soeharto mengubah sistem multipartai menjadi hanya tiga partai, Golkar, PPP dan PDI.
Pengritiknya menyebutnya otoriterisme. Pendukungnya menilai langkah itu efektif untuk menstabilkan politik agar prioritas pembangunan ekonomi dapat berjalan.
Dalam seminar sehari Center Law, bekerjasama dengan Seven Strategic Service, di Jakarta belum lama ini, para nara sumber seperti Prof Dr Ahmmad Mustofa, Mantan Jaksa Agung Abdurahman Saleh, tokoh LSM Mulyana W Kusumah dan pengacara Soeharto, OC Kaligis sependapat, Soeharto sebaikinya tidak pelu lagi diseret-seret kepengadilan, baik menyangkut kasus pidana maupun perdata, karena putusan Mahkamah Agung sudah menyatakan, Soeharto mengidap penyakit permanen yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
"Saat Pak Harto menjadi presiden, tidak pernah membawa Soekarno kepengadilan atau duduk di kursi pesakitan, demikian juga seharusnya Soeharto," kata Probo mengingatkan.
"Janganlah pemimpin dijadikan seperti tebu, habis manis sepah dibuang," katanya. Ia mencontohkan saat Presiden AS Gerald Ford menggantikan Richard Nixon yang mengundurkan diri, Ford memberikan "pardon" kepada Nixon sehingga kesalahan Nixon baik yang dilakukan secara langsung maupun yang didakwa oleh pengadilan dihapus secara keseluruhan.
Beranikah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan tindakan sebagaimana Ford? (*)
Editor: Ruslan Burhani
ISI,.,.
Teori Patronase Politik patronase adalah suatu dipensasi dari suatu keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-pembagian atau hal-hal lain yang berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai, seperti contohnya memilih partai patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum.
Budaya membangun suatu rekanan di era Soeharto, merupakan salah satu contoh sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti halnya hubunganpatron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikanpisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti. [3] Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah satu pemikiran luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang memberi tanah garapan.
A. Latar Belakang Soeharto
Soeharto dilahirkan di desa Kemusuk, Jawa Tengah. Sebagai orang Jawa, ia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang cukup kental. Sejak kecil Soeharto hidup miskin dan hidup dalam kesukaran. Penderitaan hidup membuatnya tabah dan tahan dan juga berhati-hati untuk bergantung dengan orang lain dalam banyak hal. Ia juga lebih menyukai hubungan dekat dengan beberapa orang saja di mana ia menjadi tokoh dominannya. Penderitaan materiil dan emosional Soeharto di masa kecil dan masa muda membentuk pemikiran yang introspektif dan mandiri, atau apa yang disebut McIntrye ‘autarki emosional’; “saya selalu ingat pengalaman dan kesusahan di masa kecil,” Soeharto kelak berujar, “dan sebab itu saya menekankan pentingnya “tepa selira” (hendaknya meraba pada diri sendiri)” [4] Sifat inilah yang menyebabkan Soeharto dalam memecahkan masalah dan kebingungan dengan melihat ke dalam dirinya sendiri, bukan melihat ke luar.
Soeharto bukanlah seperti Syahrir yang mempunyai “ratusan buku anak-anak dan Novel Belanda” ataupun mempunyai kalimat yang menyerupai Soekarno, bahwa “waktuku habis untuk membaca. Ketika anak-anak lain bermain, aku belajar. Aku mengejar pengetahuan jauh di luar pelajaran biasa.” [5] Soeharto adalah orang yang sederhana namun juga kompleks. Secara intelektual, wawasannya sempit dan sederhana, hal ini disebabkan oleh pendidikannya yang terbatas. Ia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca, merenung ataupun membuat suatu teori.
Gaya pemikiran Soeharto ditandai oleh perenungan, penghitungan dan penguasaan batin (“mendekatkan batin kita dengan pencipta kita”) [6] yang menampakkan dirinya dalam aturan-aturan moral maupun praktis tertentu. Struktur kepribadian dan emosinya, susunan kerangka berpikirnya, serta persepsinya tentang makna dan arah historis memang sangat dipengaruhi oleh adat dan kepercayaan Jawa.[7]
Banyak contoh mengenai sifat Kejawaan dari Soeharto, seperti ia mewakili sosok lama era para raja kuno Jawa yang terpengaruh oleh konsep-konsep feodal kuno. Secara sadar ataupun tidak, ia tampaknya berupaya mereorganisasi Indonesia yang modern menjadi seperti kerajaan Jawa, baik dalam bentuk dan juga semangatnya. [8]
B. Patronase dalam Pemikiran Tradisionalisme Jawa
Pengertian patronase pada budaya Jawa, adalah sebagai bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal kepadanya.
Bila kita merunut pada Teori Ben Anderson mengenai kekuasaan dapat kita lihat bagaimana Soeharto terpengaruh oleh pemikiran Jawa mengenai kekuasaan. Menurut teori Ben Anderson, di Jawa, kekuasaan memiliki ciri-ciri seperti: 1. Kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada benda-benda seperti batu, tanah, air, dan api. Bila menurut pemikiran Barat kekuasaan harus orang dengan orang baru dikatakan kekuasaan. Dalam kekuasaan Jawa tidak ada garis yang tegas antara zat organik dan zat anorganik. Sumber dari kekuasaan adalah adil kodrati. 2. Kekuasaan itu Homogen, kekuasaan itu sama sumbernya (adil kodrati, Sang Pencipta). 3. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Contohnya ketika Mataram Lama masih berjaya, mereka membangun bangunan-bangunan monumental. Karena rakyatnya tidak senang dengan kerajaannya, rakyat Mataram Lama pindah ke Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan. Dengan adanya kerajaan di Jawa Timur maka kerajaan Mataram Lama makin merosot. 4. Kekuasaan di alam semesta selalu tetap. Karena kekuasaan bukan hasil dari interaksi. Dan juga karena Alam Semesta tidak bertambah luas dan sempit.
Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). [9] Oleh karena itu raja berhak mengambil keputusan apa saja termasuk keputusan ia untuk melakukan apapun untuk kerajaannya termasuk yang ada di dalamnya yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya. Dengan demikian bila raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan dan ketika ada orang yang tidak mau memberikan apa yang diinginkan sang raja maka ia akan diperangi. Sehingga dengan keadaan seperti demikian rakyat akan takut dan tunduk kepada raja.
Namun dalam konsep kekuasaan Jawa, seorang pemimpin dalam berkuasa harus diimbangi oleh beberapa sikap seperti berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta(berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil kepada siapa saja dan adil dengan penuh kasih sayang). [10] Raja yang baik harus dapat menjaga keseimbangan antara kewenangan yang besar dengan kewajiban yang besar pula. Tugas raja adalah membuat dan mempertahankan agar negara tata titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung pasir wukir lohjinawi gemah ripah karta tur raharja (negara yang aman tenteram, terkenal dengan kewibawaannya, luas wilayahnya ditandai oleh pegunungan dan laut sebagai wilayahnya, di depannya terhampar sawah luas dan sungai yang selalu mengalir).[11]
Sistem politik kerajaan sering disebut sistem politik patrimonial atau monarchy.[12] Dalam hal ini raja sebagai penguasa dan juga pengayom seperti halnya peran bapak dalam keluarga. Oleh karena itu, hubungan pengayom dengan pengayem (atau orang yang dilindungi oleh pengayom) seperti hubungan patron dengan client. Di dalam sistem ini bapak sangat menentukan dan semua orang berusaha agar menjadi anak buah yang baik dan taat.
Untuk menjadi anak buah yang baik dan taat kadang-kadang anak buah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya. Misalnya dapat kita simak sepenggal kata-kata dari R Ng Ranggawarsita bahwa: “Sing sapa ngerti ing panuju, prasat pageri wesi.”(Barangsiapa yang mengerti tujuan atau kehendak seseorang, seperti ia berpagar besi)[13] Bila kita artikan maksud dari perkataan dari R Ng Ranggawarsita adalah bila ada bawahan (anak buah) yang dapat membuat senang atasannya, dengan sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih sendika dhawuh atau kalau perlu mengelabui atasan, maka ia akan disenangi oleh atasannya.
C. Sistem Patronase dan Penerapannya di Masa Presiden Soeharto
Sistem patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang-orang yang cukup dekat dengannya. Kita dapat melihat keterampilan Soeharto dalam membangun dan memelihara mesin patronase yang rumit dan memastikan bahwa pelaku dalam Orde Baru secara terkompromikan dan berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Hal ini dicapai melalui pembagian uang minyak secara profesional yang dikelola oleh Ibnu Sutowo, dan melalui alokasi piawai peluang-peluang bisnis.[14]Ketika mereka yang tidak puas akan kebijakan dan kepemimpinannya yang kemungkinan akan menjadi masalah baginya, mereka pelan-pelan digeser ke bidang-bidang yang memberikan status serta peluang bisnis yang sulit mereka tolak.
Dalam hal ini, dapat kita hubungkan dengan salah satu budaya Jawa yaknibelantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya tawar menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi)[15]. Namun budaya ini telah disalah artikan dengan tawar menawar jual beli kekuasaan.
Perilaku para politisi tersebut berdampak pada timbulnya praktek korupsi. Budaya Gotong Royong yang sebetulnya adalah budaya Jawa yang luhur tetapi kembali disalah artikan oleh para politisi Orde Baru. Budaya gotong royong di masa orde baru menjadi budaya bergotong royong dalam tutup-menutupi kesalahan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pejabat-pejabat negara. Contohnya saja kasus Udin (wartawan harian Berita Nasional-Bernas) yang terkait dengan Sri Roso Sudarmo (Mantan Bupati Bantul, Yogyakarta) sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesai.
Dengan sistem patronasenya pula, Soeharto dapat menghancurkan lawan-lawan politiknya. Para lawan politiknya yang tidak bisa disuap harus menyadari bahwa mereka akan menanggung hukuman yang cukup berat. Hal ini dapat dicontohkan dengan dalam memerangi lawan-lawan politiknya (seperti A. H. Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara-dalam Petisi 50), ia selalu berhati-hati dengan pertama-tama mengucilkannya sehingga lawan politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan dalam jumlah yang besar. Hal ini akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak dan akhirnya pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinannya akan hilang dengan sendirinya.
III. KESIMPULAN
Sistem Patronase dalam budaya Jawa, yang mempunyai arti bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal kepadanya. Namun hal tersebut telah salah dipraktekkan dalam masa Orde Baru. Seorang bawahan yang taat dan patuh kepada atasannya, oleh atasannya dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan dirinya sendiri.
Bila kita lihat teori kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi untuk mempengaruhi orang lain, sehingga tingkah laku orang tersebut akan mengikuti orang yang mempengaruhinya. Kekuasaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat, dan jika ada perlawanan akan diberikan sanksi. Korupsi model Orde Baru yang menekankan pada kepentingan kolektif, sebagai akibat sistem patronase adalah ciri politik Orde Baru, ciri yang sangat dekat dengan kolusi dan upeti.
Pemimpin dalam suatu negara dapat dikatakan seperti raja. Raja dalam konteks pemikiran Tradisionalisme Jawa, memiliki kekuasaan yang terpusat padanya. Sama halnya di era Soeharto dimana ia menjadi presiden Republik Indonesia, ia memiliki kekuasaan yang dapat dikatakan hampir tiada batas. Namun, di dalam pemikiran Jawa, kekuasaan tersebut harus diimbangi oleh sikap-sikap yang berbudi luhur, mulia, adil dan penuh kasih sayang. Hal inilah yang dilupakan oleh Soeharto ketika ia berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Zainuddin. Soeharto Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan Selama 32 Tahun?.Jakarta: FISIP UI Press, 2005.
Elson, R. E. Soeharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005.
Endaswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakarawala, 2006.
Gayo, Iwan. Buku Pintar Seri Senior. Jakarta: Pustaka Warga Negara, 2004.
Purwadi, M. Hum. Panembahan Senopati. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006.
_______Hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2005.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Roeder, O.G., Anak desa: biografi presiden Soeharto. Jakarta: Gunung Agung, 1976.
_______The smiling general: President Soeharto of Indonesia, edisi revisi kedua. Jakarta: Gunung Agung, 1976
[1] Ramage, Politics in Indonesia, hal. 4.
[2] Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta, 2003), hal. 156.
[3] Endaswara, Op. cit, hal. 158.
[4] R. E. Elson, Soeharto: Sebuah Biografi Politik (Jakarta, 2005), hal. 37.
[6] Soeharto, Pikiran, hal. 235.
[7] Elson, op. cit., hal. 582. Contoh dari pemikiran Soeharto dengan menggunakan istilah-istilah Jawa dapat dilihat dalam “Laporan stenografi amanat Presiden Soeharto pada malam ramah-tamah dengan pengurus KNPI, tanggal 19 Juli 1982 di Jl. Cendana No. 8, Jakarta” (yang diberikan dari Ken Ward kepada R. E. Elson)
[8] Mody, Indonesia under Suharto, hal. 132; Schwarz, A Nation in waiting, 1994, hal. 278.
[9] Endaswara, Op. Cit., hal. 169.
[11] Ibid.
[14] Elson, op. cit., hal. 590.
[15] Endaswara, op. cit., hal. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar